Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) - Perkara No. 120/PUU-XII/2014 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (13/11) siang.
“Permohonan kami intinya terkait Pasal 1 angka 2 KUHAP. Dalam permohonan kami yang menjadi permasalahan itu adalah kewenangan tunggal yang dimiliki oleh penyidik tidak ada pengawasan dilakukan oleh pihak eksternal. Sehingganya penyidik dapat melakukan apa saja semaunya, rekayasa, terhadap tersangka. Atas dasar itu, kami mengajukan permohonan,” kata kuasa hukum Pemohon, Fauzi Novaldi.
Selain itu, Fauzi meminta Majelis Hakim agar menunda pelaksanaan tahap dua yang akan dilakukan oleh pihak penyidik kepada pihak penuntut di Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.
“Karena kami sangat meyakini, karena adanya dugaan rekayasa dalam menetapkan tersangka sebagaimana dipergunakan oleh penyidik. Oleh karena itu kami memohon dengan harapan yang sangat besar sekali agar Yang Mulia dapat memerintahkan kepada Kejaksaan Agung untuk menunda, menghentikan atau setidaknya menunda pelimpahan perkara dan atau menghentikan perkara klien kami, Yang Mulia,” ujar Fauzi.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menasehati Pemohon, “Pertama yang harus diperhatikan bahwa yang Saudara uji ini adalah ketentuan umum, definisi. Definisi itu dalam sebuah peraturan perundang-undangan itu merupakan batasan pengertian definite. Artinya memang dia harus membatasi lingkupnya, kemudian ini berlaku dalam operasional pasal, ayat, dan seluruh isi dari undang-undang itu. Dan memang kata penyidikan ini dibuat dalam definisi karena diulangi beberapa kali.”
Sementara itu, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menanggapi soal kedudukan hukum Pemohon. “Anda uraikan dalam kedudukan hukum mengenai alasan bahwa Pemohon punya legal standing ini. Itu mestinya untuk sebagian besar itu adalah uraian mengenai alasan pokok permohonan. Coba dipikirkan kembali cara menguraikan masalah itu bagaimana, mestinya orang itu punya legal standing dalam mengajukan perkara di Mahkamah Konstitusi,” imbuh Fadlil Sumadi.
Sedangkan Ketua Panel, Aswanto mengklarifikasi pasal yang diuji Pemohon. “Yang mau Anda uji Pasal 1 angka 1 atau angka 2? Di permohonan Saudara angka 2, coba perhatikan kembali KUHAP, Pasal 1 angka 2 itu penuntutan, ini penyidikan. Coba angka 2 saya bacakan, ‘Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk menentukan suatu perkara tindak pidana dapat dilakukan penuntutan atau tidak, membuat surat dakwaan’,” urai Aswanto.
“Mungkin yang Saudara maksud adalah Pasal 1 angka 1 penyidikan? Apa bunyinya angka 2? Lho, di undang-undang yang Saudara masukkan sebagai bukti, Pasal 1 angka 1, itu penyidikan,” tambah Aswanto.
Sebagaimana diketahui, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 menyebutkan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Alasan Pemohon -Mawardi dkk- melakukan pengujian UU, karena Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan keputusan yang tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, karena penetapan tersangka bukan didasari dengan perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang seperti mark up harga barang, dan atau barang tidak sesuai dengan spesipikasi sebagaimana yang tercantum dalam kontrak.
Menurut Pemohon, Pasal 1 angka 2 Undang-Undang tersebut jika digunakan tanpa pengawasan merupakan pasal yang potensial dikualifikasi melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap jabatan Jaksa Agung yang sangat terhormat. Dengan perumusan pasal yang demikian, maka pasal tersebut tidak proporsional dan berlebihan serta dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/mh)