“Kenapa Mahkamah Konstitusi harus diberikan kewenangan untuk melakukan judicial review? Ini menjadi pertanyaan besar,” kata Abdul Ghoffar, Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) saat menerima kunjungan para mahasiwa Fakultas Hukum (FH) Universitas Atma Jaya Yogyakarta ke MK, Kamis (13/11) pagi.
Ghoffar mengungkapkan, ada beberapa alasan mengapa judicial review diperlukan. Salah satunya adalah ketidakpastian politik. Sebelum terjadi amandemen UUD 1945, konstitusi di Indonesia ditafsirkan secara semena-mena oleh penguasa. Misalnya dalam UUD 1945 sebelum diamandemen disebutkan bahwa Presiden adalah mandataris MPR.
“Presiden ketika itu mendapat kepercayaan penuh dari rakyat. Kemudian dalam perjalanannya, Presiden hanya membagi sedikit-sedikit kekuasaan kepada lembaga negara yang lain,” imbuh Ghoffar.
Ditambahkan Ghoffar, dalam undang-undang disebutkan bahwa 2/3 anggota dipilih melalui pengangkatan Presiden, yaitu utusan daerah, utusan golongan dan ABRI. Sedangkan 1/3 anggota lainnya berasal dari DPR, yang notabene dari pemilihan umum.
“Oleh karena itu, meskipun saat itu Partai Golkar kalah, tidak akan berpengaruh. Hasilnya, tetap saja Pak Harto yang jadi Presiden. Kenapa? Karena setidaknya Pak Harto sudah memiliki 2/3 suara di MPR,” ungkap Ghoffar. Menurut Ghoffar, itulah kemudian yang menjadi grand design kesalahan konstitusi Indonesia yang selalu menjadikan manusia sebaik apa pun, akhirnya menjadi otoriter.
Pengaruh Kewenangan MK
Lebih lanjut Ghoffar menerangkan soal pengaruh kewenangan MK. Bahwa undang-undang yang dibentuk oleh presiden dan parlemen dapat dibatalkan oleh lima suara hakim konstitusi.
“Cukup lima suara hakim konstitusi, maka kemudian secara otomatis ratusan suara anggota DPR, DPD dan satu orang presiden bisa dibatalkan,” jelas Ghoffar.
Ghoffar melanjutkan, bahkan sekaliber Perpu (peraturan pemerintah pengganti undang) yang nyatanya sudah genting dan memaksa, itu bisa diuji di Mahkamah Konstitusi.
“Lazimnya sesuatu yang genting dan memaksa itu kan termaklumi. Tetapi khusus di Indonesia, kegentingan yang memaksa ini bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi,” tambah Ghoffar.
Ghoffar mencontohkan, Perpu tentang pilkada langsung yang oleh DPR dinyatakan sebagai pilkada tidak langsung, sedangkan oleh Presiden dinyatakan sebagai pilkada langsung.
“Kemarin baru disidangkan MK ada tujuh permohonan yang terkait dengan perpu, untuk dilakukan pembatalan terhadap perpu itu,” ujar Ghoffar. (Nano Tresna Arfana/mh)