Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan hasil dari suatu proses transformasi kelembagaan yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang lebih dari 1 dekade sejak 1998. Latar pembentukannya pun berawal dari kelemahan pengawasan perbankan nasional akibat krisis keuangan pada tahun 1997. Hal ini diungkapkan Mulya P. Nasution selaku Ahli Pemerintah dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) pada Rabu (12/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Pada 1998 gagasan pembentukan suatu lembaga pengawasan jasa keuangan yang independen muncul sebagai upaya untuk memperbaiki penyelenggara pengaturan pengawasan terhadap industri jasa keuangan,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Mulya menjelaskan pelaksanaan tranformasi kelembagaan OJK tersebut diperlukan untuk mencegah agar tidak terulang kembali krisis seperti yang pernah terjadi pada masa yang lalu. Tak hanya itu, pembentukan OJK juga bertujuan agar lebih mampu menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang semakin berat akibat dari perkembangan dan dinamika disektor industri jasa keuangan di masa yang akan datang. Pengaturan dan pengawasan disektor jasa keuangan hanya dapat terlaksa secara profesional apabila lembaga yang diberikan mandat untuk diberikan tugas tersebut bersifat mandiri tidak berada di bawah kekuasaan pengaruh lembaga eksekutif maupun lembaga legislatif.
“Krisis perbankan yang melanda Indonesia yang kemudian meluas menjadi krisis ekonomi dan politik pada awal dekade yang lalu, menunjukkan pada kita betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pengawas jasa keuangan yang independen dalam penyelenggaraan fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan. Oleh karena itu para pembuat undang-undang di negara kita persis 10 tahun yang lalu menyepakati untuk mencantumkan amanat pembentukan dengan Undang-Undang suatu lembaga sektor jasa keuangan yang independen,” paparnya.
Sementara Refly Harun yang merupakan Ahli Pemerintah lainnya menjelaskan jika dilihat dari sisi sejarah pembentukan OJK sebenarnya memang hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh DPR. Pada awal pemerintah Presiden Habibie, lanjut Refly, pemerintah mengajukan rancangan Undang-Undang Bank Indonesia yang memberikan independensi kepada bank sentral.
“Pada waktu RUU tersebut diajukan, muncul penolakan dari BI dan DPR, sebagai kompromi maka disepakati bahwa lembaga yang menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi bank tersebut juga harus bertugas mengawasi lembaga keuangan lainnya. Hal ini agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut adalah memangkas kewenangan bank sentral,” paparnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, Pemohon merasa lingkup kewenangan OJK telah melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pada dasanya OJK menurut Pemohon hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang berdasarkan pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya tidak sah karena pada pasal tersebut tidak mengatur hal tersebut.
Untuk itulah, dalam tuntutan atau petitum-nya, Pemohon meminta MK menyatakan UU OJK terutama Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 bertentangan dengan UUD 1945. Namun apabila nantinya MK tidak mengabulkan permohonan tersebut, mereka meminta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK dihapuskan. Pemohon juga mengajukan petitum provisi untuk menghentikan sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan sehingga memerintahkan Bank Indonesia mengambil alih sementara. (Lulu Anjarsari/mh)