Pemenuhan tenaga listrik bagi setiap warga negara pada dasarnya merupakan salah satu hak asasi manusia yang diatur di dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right (ICESCR). Negara tidak boleh menunda-nunda atau bahkan mempersulit pemenuhan hak warga negara untuk menikmati pelayanan tenaga listrik.
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Aidul Fitriciada Azhari. Ahli yang dihadirkan Pemohon tersebut mengatakan hak asasi untuk memperoleh perumahan yang layak adalah bagian dari hak untuk memperoleh standar hidup yang layak yang merupakan kepentingan utama bagi pemenuhan seluruh hak ekonomi sosial dan kebudayaan yang diatur dalam Pasal 11 ayat (1) ICESCR.
Dalam kaitan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak untuk memperoleh perumahan yang layak tersebut merupakan bagian dari hak untuk memperoleh standar hidup yang layak sebagai perwujudan dari hak untuk memperoleh pemenuhan kebutuhan dasar demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan umat manusia sebagaimana diatur di dalam Pasal 28C ayat (1) UUD 1945.
Kemudian dalam General Comment Nomor 4 disebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan perumahan yang layak adalah meliputi pelayanan material, fasilitas, dan infrastruktur yang mencakup di antaranya tenaga listrik, tidak terlepas di dalamnya dari fasilitas keamanan dan keselamatan dalam memenuhi kebutuhan tenaga listrik tersebut.
Dengan kata lain, keamanan dan keselamatan dalam memenuhi kebutuhan listrik merupakan kewajiban negara. Dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, negara harus bersikap aktif untuk merealisasikan secara progresif dengan cara bertindak secepat dan seefektif mungkin untuk mewujudkan pemenuhan hak asasi warga negara. “Negara tidak boleh menunda-nunda atau bahkan mempersulit pemenuhan hak warga negara untuk menikmati pelayanan tenaga listrik,” ujarnya dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (11/11).
Kaitannya dengan itu, dia menambahkan, ketentuan UU Ketenagalistikan yang menetapkan kewajiban untuk memiliki Sertifikat Laik Operasi (SLO) yang disertai dengan ancaman pidana, jelas bertentangan dengan hakikat dari pemenuhan hak atas tenaga listrik sebagai bagian dari hak untuk memperoleh standar hidup yang layak yang justru menuntut adanya kewajiban negara untuk merealisasikan secara progresif.
Sesuai dengan prinsip kewajiban negara dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan, seharusnya negara bertindak secara progresif dengan secepat dan seefektif mungkin unutk merealisasikan pemenuhan hak atas tenaga listrik, termasuk jaminan keselamatan dan keamanan. “Artinya, jaminan keamanan dan keselamatan yang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 diwujudkan berupa SLO, justru seharusnya disediakan oleh negara sebagai bagian dari upaya realisasi secara progresif bagi pemenuhan hak atas tenaga listrik,” imbuhnya.
Negara tidak boleh menunda-nunda atau mempersulit, apalagi dengan memberikan ancaman pidana bagi pemenuhan hak warga negara atas tenaga listrik. Negara tidak boleh bersifat pasif dengan hanya mengandalkan inisiatif warga negara. Posisi negara yang bersikap pasif dan menyerahkan kewenangan untuk menangani penyediaan SLO kepada pihak lain di luar negara, disertai dengan konsekuensi pembayaran sejumlah uang, justru bertentangan dengan prinsip kewajiban negara dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
“Kebijakan negara seperti itu dalam praktik potensial untuk menimbulkan diskriminasi karena di satu pihak akan ada warga negara yang dapat membayar dan memperoleh sertifikat, sementara di pihak lain akan ada sebagian warga negara yang tidak dapat atau sulit memenuhi pembayaran dengan konsekuensi tidak dapat atau tertunda haknya untuk memperoleh tenaga listrik,” jelasnya.
Dengan kata lain, ketentuan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 yang menetapkan kewajiban untuk memiliki SLO bertentangan dengan norma pada Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Sebelumnya, Ibnu Kholdun selaku Pemohon menilai ketentuan norma Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan menjadi norma diskrimatif bagi Pemohon sebagai konsumen maupun pekerja listrik. Pasalnya, baik pelanggan kaya maupun pelanggan yang tidak mampu harus membayar biaya pembuatan sertifikat laik operasi. Hal tersebut telah menimbulkan kerugian dan berpotensi menimbulkan kerugian, serta bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
“Sepanjang ketentuan Pasal 44 ayat (4) tetap berlaku, tanpa memiliki sertifikat layak operasi, maka Pemohon dapat dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan,” ujar Ibnu di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (28/8).
Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan menyatakan:
“Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi”.
Pasal 54 UU Ketenagakerjaan menyatakan:
- 1. Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- 2. Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan standard nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan atas pembatalan pasal-pasal a quo secara keseluruhan. (Lulu Hanifah/mh)