Mahkamah Konstitusi (MK) memutus tidak dapat menerima permohonan pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno, yang diajukan oleh Yayasan Maharya Pati.
Pada sidang pengucapan putusan yang dipimpin Ketua MK, Hamdan Zoelva, Selasa (11/11), Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan, permohonan tersebut sebelumnya pernah diajukan dan diputus oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 24/PUU-XI/2013 pada 10 September 2013.
Selain itu, Mahkamah berpendapat, berdasarkan Lampiran IIA Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966, Pasal 3 Tap MPR Nomor III/MPR/2000, serta Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, kedudukan Ketetapan MPRS/MPR ditetapkan secara hierarkis berada di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dan di atas Undang-Undang. Oleh karena Ketetapan MPRS/MPR mempunyai kedudukan yang secara hierarkis berada di atas Undang-Undang maka berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 pengujian terhadap Ketetapan MPRS/MPR tidak termasuk dalam kewenangan Mahkamah.
“Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan Pemohon maka kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan pokok permohonan tidak dipertimbangkan,” ucap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang membacakan bagian pertimbangan putusan perkara Nomor 75/PUU-XII/1975 tersebut.
Sebelumnya, Yayasan Maharya Pati mempersoalkan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno. Pemohon beralasan TAP MPRS tersebut telah menimbulkan stigma negatif bukan hanya terhadap nama baik dan kehormatan pribadi, keluarga dan kerabat Bung Karno tetapi juga terhadap karya-karya dan hasil-hasil pemikiran Bung Karno selama lebih dari tiga dekade.
Pemohon dalam permohonannya juga beranggapan TAP MPRS tersebut menimbulkan kekhawatiran sebagian anak bangsa untuk mempelajari ajaran dan pemikiran-pemikiran Dr. Ir. Soekarno, khususnya mengenai “Marhaenisme, Trisakti dan Berdikari” sebagai cerminan kerakyatan dan kedaulatan yang dilandasi oleh semangat kemandirian, persatuan dan gotong royong, karena kekhawatiran akan mendapat perlakuan yang bersifat diskriminatif. (Ilham/mh)