Empat orang Komisioner Komisi Informasi, yaitu John Fresly, Rumadi, Mahyudin Yusdar dan Mohammad Dawam mengajukan Pengujian Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Sidang perdana perkara ini digelar Senin (10/11) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Veri Junaidi selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan Pasal 9 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik telah melanggar amanat Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945.
Mengawali penjelasan pokok permohonan Perkara No. 116/PUU-XII/2014, Veri mengatakan sebenarnya ada kelompok Pemohon. Kelompok pertama terdiri dari 22 orang anggota komisioner di Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi. Sedangkan kelompok kedua adalah satu orang warga negara Indonesia selaku pembayar pajak. Para Pemohon merasa memiliki hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Hal konstitusional tersebut diamanatkan oleh Pasal 28F UUD 1945.
Hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap telah dilanggar oleh adanya pemberlakuan Pasal 29 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU KIP. Keempat ayat tersebut pada intinya menyatakan Sekretariat Komisi Informasi Pusat dilaksanakan oleh Pemerintah dan keanggotaannya ditetapkan oleh menteri bidang komunikasi dan informatika. Adanya campur tangan pemerintah juga diberlakukan pada Komisi Informasi di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota.
Veri menjelaskan ketentuan tersebut telah menyebabkan para komisioner Komisi Informasi tidak dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan optimal dalam menyelesaikan sengketa informasi. Terutama, sengketa informasi yang melibatkan pemerintah maupun Kementerian Kominfo.
Aturan tersebut menurut Pemohon, seperti yang disampaikan Veri, juga menyebabkan ketergantungan atau ketidakberdayaan dari segi penganggaran atau penandaan dan model bangunan Kesekretariatan Komisi Informasi pada lembaga lain. Ujung-ujungnya, Pemohon menuding aturan tersebut berimplikasi terhadap sulitnya pelaksanaan manajerial dan pengawasan pegawai di Komisi Informasi.
“Kerugian yang dialami Pemohon 23 (Pemohon perseorangan, red) yaitu terhambatnya proses penyelesaian sengketa yang diajukan oleh Pemohon kepada Komisi Informasi. Kedua, tidak terpenuhinya rasa keadilan bagi Pemohon informasi akibat tidak mandirinya komisi informasi dalam menyelesaikan sengketa informasi. Yang ketiga, sulit terpenuhinya hak atas informasi bagi Pemohon. Bahwa lahirnya pasal dan frasa dalam undang-undang a quo telah sangat mengganggu dan menghambat aktivitas Pemohon 1 sehingga Pemohon 23 dalam memberikan keadilan untuk penyelesaian sengketa informasi atau memperoleh perlakuan yang adil dalam memperoleh informasi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas para Pemohon telah memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Veri di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Pemohon beralasan bahwa sesuai Pasal 23 UU KIP, Komisi Informasi Pusat haruslah menjadi lembaga yang mandiri dan berfungsi menjalankan UU tersebut. Selain itu, peraturan pelaksanaan UU KIP menetapkan petunjuk teknis standar pelayanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik haruslah melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi. Prinsip kemandirian tersebut menjadi penting agar Komisi Informasi mampu memberikan keadilan kepada para pihak saat menyelesaikan sengketa.
“Bahwa fungsi ajudikasi Komisi Informasi yang mandiri sesungguhnya sama seperti fungsi lembaga peradilan pada umumnya. Lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya dibebaskan dari kepentingan para pihak dan diberikan kebebasan untuk menjalankan tugas dan fungsinya tersebut dari pengaruh apa pun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,” tegas Veri. (Yusti Nurul Agustin/mh)