Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Eddy Mulyadi Soepardi mengatakan setidaknya terdapat tiga konsekuensi yang akan timbul apabila permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK dan UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dikabulkan.
Konsekuensi pertama, apabila permohonan Pasal 13 UU 15/2004 sepanjang frasa kata “dapat” dikabulkan oleh Mahkamah, berpotensi menimbulkan inefisiensi dengan adanya pengulangan pemeriksaan oleh BPK. Hal tersebut akan membebani keuangan negara yang seharusnya tidak perlu. Menurutnya, hasil pemeriksaan keuangan, kinerja, atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu selain pemeriksaan investigatif telah secara nyata mengungkap kerugian negara yang didukung dengan bukti-bukti audit yang memadai, sehingga BPK tidak perlu memperdalam temuan tersebut melalui pemeriksaan investigatif.
Kedua, apabila permohonan Pasal 11 huruf c UU 15/2006 dikabulkan oleh Mahkamah, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam proses peradilan. Pasalnya, ahli yang akan diminta untuk memberikan keterangan ahli bukan pihak atau ahli yang memiliki keahlian khusus di bidang pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, sehingga diragukan ahli tersebut mampu menjelaskan atau menerangkan mengenai substansi kerugian negara atau daerah yang dimuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK.
“LHP BPK adalah hasil analisis yang telah dilakukan BPK secara objektif, profesional, dan independen atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diperiksanya,” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (10/11).
Konsekuensi ketiga, apabila permohonan Pasal 34 ayat (1) UU 15/2006 dikabulkan oleh Mahkamah, sehingga ketentuan tersebut inkonstitusional sepanjang dimaknai BPK RI Perwakilan berwenang melaksanakan pemeriksaan investigatif secara mandiri, hal tersebut akan bertentangan dengan prinsip pelimpahan wewenang yang dikenal dalam hukum administrasi negara.
Dia menjelaskan lebih lanjut alasan dibalik konsekuensi yang muncul tersebut. Menurutnya, ketentuan Pasal 13 UU 15/2004 tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena BPK dapat mengungkap tentang kerugian negara dalam semua jenis pemeriksaan, sesuai standar pemeriksaan keuangan negara yang berlaku di BPK dan sejalan dengan standar pemeriksaan akuntan publik yang berlaku bagi akuntan publik. Ketentuan tersebut juga dinilai memberikan kepastian hukum bagi BPK dalam melaksanakan tugas dan kewenangan konstitusional guna melakukan pemeriksaan investigatif bilamana diperlukan.
Sedangkan pemberian keterangan ahli oleh BPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf c UU 15/2006 merupakan kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan kepada BPK sebagai suatu lembaga negara dan bukan perorangan. Untuk itulah BPK menyusun aturan teknis yang mengatur antara lain tentang persetujuan, penunjukan, dan penugasan ahli melalui Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli.
Dalam peraturan tersebut, sambungnya, ahli yang dapat ditugaskan untuk memberikan keterangan adalah anggota BPK, pejabat pelaksana BPK, pemeriksa atau tenaga ahli yang bekerja untuk dan atas nama BPK, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan BPK. Selain itu, keterangan yang diberikan ahli yang ditugaskan oleh BPK didasarkan pada kompetensi dan atau pengetahuan tentang pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, serta substansi yang dimuat dalam LHP BPK. “Sehingga, ahli yang ditugaskan oleh BPK haruslah pemeriksa yang melaksanakan pemeriksaan dan menyusun LHP terkait,” imbuhnya.
Terakhir, frasa kata dibantu dan perwakilan dalam Pasal 34 ayat (1) UU 15/2006 terkait pemeriksaan investigatif. Selama ini, menurutnya, BPK perwakilan dalam melakukan pemeriksaan investigatif sudah sesuai dengan mekanisme dalam ketentuan tersebut dan tidak ada pemeriksaan investigatif yang dilakukan oleh BPK perwakilan tanpa melalui persetujuan board atau badan. “Dengan demikian, tidak benar pernyataan Pemohon bahwa BPK perwakilan dapat mengambil tindakan di luar kewenangannya, yakni melakukan pemeriksaan investigatif secara mandiri tanpa didahului perintah langsung dari board atau badan,” jelasnya.
Dalam kasus Pemohon, pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK Perwakilan Sumatera Utara atas pengelolaan keuangan pada Dinas PU Kabupaten Deli Serdang bukan merupakan pemeriksaan investigatif. Dengan demikian, frasa kata dibantu dan perwakilan dalam Pasal 34 ayat (1) UU 15/2006 tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Sebelumnya, Tersangka kasus Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pengelolaan Keuangan pada Dinas Pekerjaan Umum Faisal menguji materi Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 huruf c, dan Pasal 34 ayat (1) UU BPK, serta Pasal 13 UU Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Pemohon, frasa ditetapkan dengan putusan BPK dalam Pasal 10 ayat (2) UU BPK memiliki penafsiran yang tidak pasti sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. “Penafsiran yang tidak pasti terkait siapa yang berhak menentukan ada atau tidaknya kerugian negara dan bagaimana mekanisme untuk menentukan ada-tidaknya kerugian tersebut,” ujarnya dalam persidangan perkara teregistrasi nomor 54/PUU-XII/2014 di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (16/7).
Lebih lanjut, Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara terdapat kata dapat. Hal tersebut, menurut Pemohon, berpotensi menimbulkan standar pemberlakuan yang ganda, sehingga memunculkan ketidakpersamaan di hadapan hukum. “BPK RI bisa saja menerapkan pemeriksaan investigatif pada suatu kasus tertentu, namun tidak dalam kasus yang lain,” imbuhnya.
Kata dapat dalam Pasal 13 tersebut, bisa juga ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan untuk mengungkap kerugian negara, menggunakan mekanisme pemeriksaan jenis lain selain dari mekanisme pemeriksaan investigatif. Bahkan, kata tersebut bisa ditafsirkan sebagai sebuah kebolehan bagi BPK RI untuk mengungkap kerugian negara tanpa perlu melakukan sebuah mekanisme pemeriksaan.
Selain itu, pada Pasal 11 huruf c UU BPK yang menyatakan BPK dapat memberikan keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara atau kerugian daerah, Pemohon menilai norma tersebut dapat ditafsirkan ganda. Pertama, BPK RI berwenang menunjuk pihak eksternal sebagai ahli dalam siding, misalnya kasus kerugian negara atau tindak pidana korupsi. Kedua, BPK berwenang menunjuk pihak internal dari dalam pegawai BPK sendiri sebagai ahli dalam persidangan. “Dalam kasus yang Pemohon hadapi pada saat kemarin, Yang Mulia. Bahwa sidang pada saat di tingkat pembuktiannya, BPK menghadirkan dari internal,” ungkapnya.
Adapun Pasal 10 ayat (2) UU BPK menyatakan:
Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.
Pasal 11 huruf c UU BPK menyatakan:
Keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.
Pasal 34 ayat (1) UU BPK menyatakan:
BPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dibantu oleh Pelaksana BPK, yang terdiri atas Sekretariat Jenderal, unit pelaksana tugas pemeriksaan, unit pelaksana tugas penunjang, perwakilan, Pemeriksa, dan pejabat lain yang ditetapkan oleh BPK sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan Pasal 13 UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyatakan:
Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana. (Lulu Hanifah/mh)