Mahkamah Konstitusi mengabulkan penarikan kembali perkara pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
“Menetapkan, menyatakan, mengabulkan penarikan kembali permohonan para Pemohon,” kata Ketua MK Hamdan Zoelva mengucapkan amar putusan di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (6/11).
Sebelumnya, Pemohon perkara nomor 107/PUU-XII/2014 yang terdiri dari tiga anggota MPR/DPR Fraksi PDI Perjuangan, yakni Dwi Ria Latifa, Junimart Girsang, dan Henry Yosodiningrat tidak hadir dalam sidang perdana yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Pada sidang selanjutnya, perwakilan Pemohon Dwi Ria Latifa menyatakan mencabut permohonan karena berpotensi ne bis in idem dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya. “Kami pikir lebih baik keputusan terakhirnya dicabut saja daripada nanti toh akhirnya menjadi nebis in idem karena pernah diputus pada saat sebelumnya dan nanti menjadi polemik baru. Biarlah dicoba semaksimal mungkin untuk dimusyawarahkan lagi walaupun ini berarti kami tidak punya kesempatan lagi mengajukan gugatan UU MD3, tapi risiko itu kami ambil,” imbuhnya.
Menanggapi pencabutan perkara, Majelis Hakim yang diketuai Patrialis Akbar menerima pencabutan tersebut. “Pada prinsipnya tentu Mahkamah menyerahkan sepenuhnya pada Pemohon mana yang terbaik, kalau memang demikian yang disampaikan, tentu Mahkamah menghormati putusan yang disampaikan oleh Pemohon,” katanya.
Pada permohonannya, Pemohon menyoal tentang Pasal 15 ayat (2) UU MD3 yang menyatakan:
” Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap”..
Para Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU tersebut. Sebagai anggota MPR, Pemohon tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi Pimpinan MPR. Pemohon menilai, sistem dalam pemilihan pimpinan DPR yang mengharuskan minimal 5 fraksi berbeda membentuk satu paket, menyebabkan hak para Pemohon untuk memilih telah dihilangkan. Pasalnya, fraksi asal Pemohon, yakni PDI Perjuangan tidak dapat membentuk paket karena kekurangan satu fraksi.
Lebih lanjut, Pemohon menilai pemilihan Pimpinan MPR dalam satu paket mengakibatkan tidak ada otonomi anggota sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 huruf c UU 17/2014, yaitu anggota MPR berhak dipilih dan memilih. Melalui sistem paket, esensi pemilihan berada pada pilihan fraksi. Selain itu, menurut Pemohon, pemilihan pimpinan MPR dengan sistem paket telah bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. (Lulu Hanifah/mh)