Pakar Hukum Denny Indrayana menilai aturan lebih lanjut terkait pengaturan pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan merupakan aturan yang konstitusional.
Menurutnya, dalam Konstitusi Pasal 23A yang menyatakan “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang” bukan berarti tidak boleh ada aturan lebih lanjut. “Tidak dapat dikatakan bahwa kalau ini diatur dengan peraturan Menteri Keuangan (PMK), kemudian keliru, dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” ujarnya dalam persidangan perkara nomor 47/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (6/11).
Dia menjelaskan, ketentuan lebih lanjut mengenai aturan perpajakan sebagaimana bunyi pasal yang diuji, diatur dengan peraturan Menteri Keuangan adalah sejalan dengan teori delegasi. Menurutnya, yang tidak boleh adalah jika muncul PMK otonom. “Tapi kalau dia ada delegasi, apalagi delegasi itu dari yang diberikan oleh undang-undang, masih boleh,” tuturnya.
Sedangkan Mantan Ketua Pengadilan Pajak Anshari Ritonga mengatakan pengertian jasa lain yang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan adalah mengatur perlakuan pajak penghasilan atas jasa yang belum tersebut dalam pasal yang ada agar berlaku seperti yang berlaku untuk jasa pada umumnya.
Dengan demikian tidak ada pengaturan yang baru, jenis jasanya sudah ada. “Tujuan frasa jasa lain dalam peraturan Menteri Keuangan untuk mengantisipasi perubahan sosial, ekonomi, d an teknologi yang tumbuh berkembang dengan cepat dalam bermacam corak kegiatan masyarakat yang berpotensi timbulnya jasa baru, agar jangan menimbulkan ketidakadilan, misalnya karena belum tercantum dalam undang-undang, maka ketentuan pajak terkait tidak diterapkan,” ujarnya.
Apabila setiap jenis jasa dicantumkan lengkap dalam pasal-pasal undang-undang, imbuhnya, apabila ada perubahan atau penambahan jenis jasa, maka untuk menampungnya harus dengan mengubah undang-undang. Sedangkan untuk peoses perubahan undang-undang memerlukan waktu cukup lama. Contohnya adalah UU PPh sendiri yang dicanangkan pada tahun 2006, namun baru keluar tahun 2009, artinya membutuhkan tiga tahun. “Dalam proses itu, jenis jasa sudah bertambah banyak sekali. Jadi, sebenarnya dari segi kewajiban, tidak menambah,” jelasnya.
Sebelumnya, perusahaan pelayaran PT Cotrans Asia menguji Pasal 23 ayat (2) UU PPh yang dinilai memberikan ketidakpastian hukum. Diwakili kuasa hukumnya Denny Kalimalang, Pemohon menilai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, memakai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut termasuk pemotongan pajak penghasilan. Hal tersebut, imbuh Pemohon, tidak dapat dilakukan lantaran jenis jasa Pemohon masuk dalam lingkup pelayaran yang memiliki karakteristik berbeda dari jenis usaha lainnya sehingga semestinya tunduk pada UU Pelayaran.
Lebih lanjut, Pemohon menilai frasa ‘jenis jasa lain’ dalam Pasal 23 ayat (2) UU PPh telah tumpang tindih dengan UU lain yang mengatur bidang usaha tertentu sehingga telah melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan. Apalagi, sebelum direvisi, pasal yang sama tidak pernah memberikan kewenangan kepada siapapun untuk menentukan pungutan pajak atas penghasilan ‘jasa lain’ , tetapi hanya menentukan siapa pihak pemotong pajak.
Adapun Pasal 23 ayat (2)UU PPh berbunyi:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa ‘jenis jasa lain’ dalam pasal tersebut inkonstitusional sepajang dimaknai dengan tanpa memperhatikan UU lain yang telah mengatur klasifikasi lapangan/bidang usaha tertentu. (Lulu Hanifah/mh)