Konstitusi Afghanistan dibangun di atas puing-puing konflik antar kelompok di negara tersebut yang berkepanjangan selama hampir lima puluh tahun. Meskipun telah menjadi negara sejak abad ke-18, Konstitusi berorientasi demokrasi baru dimiliki negara tersebut selama tak lebih dari sepuluh tahun. Dengan pedoman dasar bernegara yang relatif muda tersebut, masih banyak tentangan dan kendala yang dihadapi oleh negara Asia Tengah tersebut untuk menjadi sebuah negara dengan konstitusi yang mapan dan dapat dihayati oleh seluruh warga negaranya.
Jum’at (7/11) bertempat di ruang delegasi gedung Mahkamah Konstitusi, Anggota dari Komisi Independen Pengawasan Implementasi Konstitusi Afghanistan Lutforahman Saeed didampingi oleh Duta Besar Afghanistan untuk Indonesia Ghulam Sakhi Ghairat, mengadakan kunjungan ke Mahkamah Konstitusi RI (MK RI) untuk mempelajari lebuh lanjut UUD 1945 dan implementasinya di seluruh Indonesia.
“Konstitusi kami belum dapat dipahami secara meyuluruh oleh masyarakat, kami ingin belajar dari Indonesia tentang implementasi Konstitusi dan pengembangannya. Suatu saat kami harap seiring berjalannya waktu kami bisa juga mendirikan Mahkamah Konstitusi,” ujar Lutforrahman Saeed membuka percakapan.
Menanggapi hal tersebut, Ketua MK Hamdan Zoelva yang pada kesempatan itu didampingi oleh Sekretaris Jendral Janedjri M. Gaffar menyatakan bahwa Indonesia juga sempat mengalami perdebatan panjang soal pembentukan Konstitusi, apakah negara Indonesia akan menjadi negara Islam atau menjadi negara kesatuan. Namun semua pihak akhirnya mengesampingkan kepentingan personal dan setuju untuk membentuk negara kesatuan sebagai komitmen bersama menjaga keutuhan nasional.
“Umat Islam yang mengisi 85% penduduk Indonesia memainkan peran penting dalam pembentukan hukum nasional, banyak aturan-aturan spesifik yang berangkat dari hukum syariah untuk kemudian disesuaikan dengan Pancasila agar bisa diterima oleh seluruh warga Indonesia,” jelas Hamdan
Lutforrahman sendiri mengatakan bahwa impelementasi Konstitusi di negaranya memiliki banyak kendala, selain karena imbas dari perang yang berkepanjangan dan kemunculan kelompok-kelompok yang menguji legitimasi pemerintahan. Afghanistan diakui tidak memiliki dasar negara khusus seperti Pancasila yang mampu menerjemahkan nilai luhur bangsa kedalam perangkat yang mampu dipahami dan diamalkan oleh seluruh warga negaranya.
Islam yang Harmonis
Sementara itu, Dubes Ghulam Ghairat meyatakan bahwa di masa yang lalu Afghanistan merupakan negara yang damai, masyarakat yang multikultural hidup berdampingan untuk membangun peradaban yang cukup termahsyur di kawasan Asia Tengah. Kawasan Afghanistan juga menjadi penghubung penetrasi agama Islam sebelum menyebar di wilayah Asia Selatan dan Asia Tenggara.
“Namun semuanya berubah, kami mengalami konflik yang bekepanjangan. Lalu bermunculan kelompok-kelompok fundamental yang terus-menerus mengancam keamanan disana,” tukas Ghulam.
Meskipun demikian, menurut Ghulam, Afghanistan belakangan mengalami banyak perbaikan, kondisi keamanan sudah relatif stabil dan kini sedang membangun untuk kesejahteraan masyarakatnya.
“Kami ingin berkaca pada Indonesia karena kedua negara sama-sama berpenduduk mayoritas Islam. Masyarakat Indonesia bisa menjadi Islam yang taat sekaligus toleran dan bisa menempatkan diri dalam masyarakat modern, kami juga ingin menjadi seperti itu,” ujar Ghulam.
Dalam kunjungan yang berlangsung selama satu jam tersebut, dibahas pula rencana kerja sama terintegrasi antara kedua lembaga penjaga Konstitusi tersebut. Indonesia melalui MKRI diharapkan mampu untuk menyebarkan nilai-nilai bernegara yang dijunjungnya dalam rangka menjaga ketertiban umum dan perdamaian dunia. (Winandriyo Kun Anggianto)