Dianggap tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Pemerintah Daerah dan UU Tata Ruang yang diajukan Assosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI). Hamdan Zoelva selaku Ketua MK memimpin langsung sidang pengucapan putusan perkara No. 71/PUU-XII/2014 yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Kamis (6/11).
Hakim Konstitusi Anwar Usman yang membacakan langsung pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan tersebut mengatakan APKASI tidak memiliki legal standing. Pertimbangan yang sama juga diberikan kepada putusan No. 70/PUU-XII/2014 yang juga dimohonkan oleh APKASI. Dengan kata lain, Mahkamah menyatakan pertimbangan hukum tentang kedudukan hukum Pemohon mutatis mutandis (berlaku sama) dengan putusan perkara No. 70/PUU-XII/2014 yang dibacakan sebelumnya.
Di hari yang sama, Mahkamah memang memutus terlebih dulu perkara No. 70/PUU-XII/2014, tepatnya pada pukul pukul 16.12 WIB. Dalam putusan No. 70/PUU-XII/2014, Mahkamah menyatakan Pasal 51 ayat (1) UU MK menentukan bahwa Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Oleh karena itu, seorang Pemohon dalam pengujian Undang-Undang harus dapat menjelaskan dan membuktikan kedudukannya sebagai Pemohon dan menjelaskan kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya.
Lewat putusan MK No. 006/PUU-III/2005 tertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tertanggal 20 September 2007, Mahkamah menetapkan lima syarat yang harus dipenuhi Pemohon bila ingin memiliki legal standing. Kelimanya yaitu, ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945, hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian,dan adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Terkait dengan lima syarat itu, Mahkamah menilah APKASI tidak memenuhi syarat. Senan, APKASI tidak bisa dianggap mewakili daerah. Menurut Mahkamah, yang berhak mewakili daerah sesuai Pasal 65 ayat (1) huruf e UU Pemerintahan Daerah adalah kepala daerah langsung, baik mewakili daerah di dalam maupun di luar pengadilan.
APKASI selaku organisasi para kepala daerah (bupati) dan mewakili kepentingan pemerintah daerah menurut Mahkamah tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang yang mewakili kepentingan daerah. Mahkamah menegaskan bahwa harus pemerintahan daerah yang terdiri atas bupati dan ketua DPRD-lah yang mengajukan pengujian tersebut. “Menimbang bahwa oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo maka pokok permohonan tidak dipertimbangkan,” ujar Anwar Usman membacakan kutipan pertimbangan hukum Mahkamah.
Sebelumnya, APKASI pada sidang pendahuluan menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari banyak suku dan pulau. Sehingga tidak mungkin diselenggarakan pemerintahan secara sentralistis. Oleh sebab itu, kewenangan yang diberikan kepada daerah-daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan di daerahnya haruslah diberikan secara adil, proporsional dan mengandung kepastian hukum.
Terlebih Konstitusi sudah mengamanatkan Pemerintahan dijalankan berdasarkan otonomi daerah sesuai Pasal 33 ayat (3), ayat (4), serta Pasal 18 ayat (2) dan (5). Pemohon pun menganggap daerah harus diberkan keleluasaan yang besar untuk melakukan penataan ruang di daerah masing-masing. Namun, pada kenyataannya pengaturan mengenai tata ruang di daerah serta proses pengesahan peraturan daerah berbelit-belit sehingga memakan waktu yang lama dan tidak kunjung selesai karena tumpang tindih kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah.
Pemohon juga mengatakan UU Tata Ruang sebenarnya sudah mengamantakan bahwa dalam waktu tiga tahun setelah selesainya UU a quo, seluruh peraturan pusat maupun daerah tentang tata ruang harus sudah selesai. Namun, pada kenyataannya sampai saat ini baru sekitar 30 persen peraturan tata ruang yang selesai. Hal tersebut menjadi penting karena di dalam UU Pemda, penyusunan APBD harus didasarkan kepada tata ruang. (Yusti Nurul Agustin/mh)