Pemohon eksekusi pencairan berdasar penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Suhaemi Zakir merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan penerapan norma Pasal 231 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kuasa Hukum Pemohon Rinaldi menjelaskan sebelum melakukan eksekusi pencairan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terlebih dahulu sudah melakukan sita eksekusi terhadap harta milik termohon eksekusi di Bank DKI sesuai dengan penetapan PN Jakarta Pusat tertanggal 24 Mei 2013. PN Jakarta Pusat pun memposisikan atau memperlakukan Bank DKI sebagai penyimpan dan penjaga rekening sitaan sesuai dengan Berita Acara sita eksekusi PN Jakarta Pusat. “Bank DKI telah berjanji akan memberikan secara sukarela kepada PN Jakarta Pusat untuk menyerahkan kembali rekening yang telah disita apabila pengadilan memintanya,” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (5/11).
Kemudian, sambungnya, PN Jakarta Pusat sudah melakukan eksekusi pencairan pada tanggal 7 Maret 2014, namun dihalang-halangi oleh Bank DKI. Kejadian yang sama terulang pada tanggal 27 Maret 2014. “Atas kejadian tersebut PN Jakarta Pusat melaporkan Bank DKI kepada pihak kepolisian dengan tuduhan Pasal 216 ayat dan Pasal 231 KUHP,” imbuhnya.
Proses penyelidikan di kepolisian memang masih berlangsung hingga saat ini. Sayangnya, tuduhan Pasal 231 KUHP tidak bisa diteruskan, karena menurut Pemohon Pasal 231 ayat (3) tidak jelas maknanya sehingga tidak memberikan kepastian hukum. “Pemohon berkeyakinan Pasal 231 ayat (3) KUHP telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil dan mengakibatkan hilangnya hak konstitusional Pemohon sebagai pemohon eksekusi di PN Jakarta Pusat,” katanya.
Menurut Pemohon, agar ada kejelasan makna dan memberikan kepastian hukum, semestinya Pasal 231 ayat (3) KUHP berbunyi, “Penyimpan barang sitaan yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu menarik atau menyembunyikan, menghancurkan, merusak, atau membikin tidak dapat dipakai barang sitaan atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu atau tidak memberikan secara sukarela barang yang disita atas perintah hakim diancam dengan pidana paling lama lima tahun.”
Adapun Pasal 231 ayat (3) KUHP berbunyi:
Penyimpan barang yang dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu, atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Sedangkan ayat (1) dan (2) pasal tersebut menyatakan,
(1) Barang siapa dengan sengaja menarik suatu barang yang disita berdasarkan ketentuan undang-undang atau yang dititipkan atas perintah hakim, atau dengan mengetahui bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikannya, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
(2) Dengan pidana yang sama, diancam barang siapa dengan sengaja menghancurkan, merusak atau membikin tak dapat dipakai barang yang disita berdasarkan ketentuan undang-undang.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Aswanto mengatakan teknis penyusunan permohonan sudah cukup memenuhi syarat namun masih belum lengkap. Misalnya, pada kewenangan Mahkamah Pemohon masih menggunakan Undang-Undang MK yang lama. Di bagian akhir dari kewenangan, Pemohon juga belum memasukkan kesimpulan, apakah Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan perkara ini.
Sedangkan Hakim Konstitusi Muhammad Alim mempertanyakan inti permohonan, apakah terkait implementasi atau norma karena Pemohon menjelaskan kasus konkret pada permohonannnya. “Pasal 231 ayat (3) itukan sudah jelas sekali, barangkali penerapannya yang Saudara maksud?,” tanyanya.
Namun Pemohon meyakinkan Majelis Hakim bahwa yang dimaksud adalah pengujian norma. Pasalnya, Pemohon merasa Pasal 231 ayat (3) KUHP masih belum jelas. ”Kalau menurut kami ini, yang tercantum di Pasal 231 kurang (jelas), Yang Mulia,” ujarnya.
Kehilangan Emas
Sebelumnya, Suhaemi Zakir sebagai Pemohon perkara 110/PUU-XII/2014 ini dalam perkara yang lain juga mengujikan Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf b UU Perbankan dengan No. 109/PUU-XII/2014 di MK.
Dalam permohonannya, Suhaemi Zakir menyatakan dirinya telah menggugat Pasar Mayestik yang telah membongkar tokonya pada malam hari. Pembongkaran tersebut menyebabkan emas sebanyak sepuluh kilogram di toko miliknya hilang.
Pasar Mayestik pun digugat ke PN Jakarta Pusat dan memenangkan dirinya. Pasar Mayestik pun diperintahkan membayar ganti rugi atas hilangnya emas tersebut. Proses pembayaran tersebut diperintahkan melaui rekening milik Pasar Jaya yang ada di Bank DKI. Pada 7 Maret 2014 lalu, PN Jakarta Pusat akhirnya melaksanakan eksekusi pencairan sesuai dengan penetapan pengadilan tertanggal 3 Maret 2014. Namun eksekusi pencairan pembayara sepuluh kilogram emas tersebut tidak berhasil dilakukan. Sebab, Bank DKI beralasan pihaknya dapat mencairkan dana tersebut sepanjang pihak juru sita pengadilan membawa surat perintah pemindahbukuan atau cek/bilyet giro dari PD Pasar Jaya selaku pemilik rekening. Bank DKI memastikan pencairan dana tersebut belum sesuai ketentuan hukum perbankan.
Atas kejadian itu, Suhaemi melaporkan Bank DKI ke kepolisian dengan tuduhan melanggar KUHP antara lain pasal 231 dan Pasal 49 UU Perbankan.
(Lulu Hanifah/mh)