Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan uji materi mekanisme pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diajukan oleh anggota DPRD Purwakarta sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Putusan dengan Nomor 93/PUU-XII/2014 ini dibacakanlah oleh Ketua MK Hamdan Zoelva pada Rabu (5/11) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar, menurut Mahkamah Pasal 376 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8) dan ayat (9) serta frasa “tata cara penetapan” dalam Pasal 377 ayat (6) UU MD3 yang mengatur tentang pemilihan pimpinan dari dan oleh anggota DPRD Kabupaten/Kota merupakan pilihan kebijakan yang menegakkan prinsip demokrasi di parlemen. Model yang diadopsi oleh UU MD3 ini sesuai dengan konsep kedaulatan rakyat yang mengakui hak anggota lembaga perwakilan untuk memilih dan dipilih di dalam pemilihan pimpinan DPRD.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 011 sampai dengan 017/PUU-I/2003, bertanggal 24 Februari 2004, yang menyatakan bahwa hak memilih dan dipilih, right to vote and right to be candidate, dijamin oleh konstitusi, Undang-Undang, dan konvensi internasional. Adanya pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara. Dalam menentukan pimpinan DPRD Kabupaten/Kota pun tidak diperlukan pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan hak bagi setiap anggota untuk memilih dan dipilih. Menurut Mahkamah, diaturnya tata cara pengisian pimpinan DPRD Kabupaten/Kota dalam UU MD3 melalui mekanisme dipilih dari dan oleh anggota tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusi para Pemohon sebagai partai politik yang memperoleh suara dan kursi terbanyak pada pemilu legislatif 2014, oleh karena para Pemohon tetap memiliki kesempatan untuk menjadi pimpinan DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan Putusan Mahkamah Nomor 73/PUU-XII/2014, bertanggal 29 September 2014.
Selain itu, menurut Mahkamah, sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 73/PUU-XII/2014 tersebut, UUD 1945 tidak menentukan bagaimana susunan organisasi lembaga DPR termasuk cara dan mekanisme pemilihan pimpinannya. UUD 1945 hanya menentukan bahwa susunan DPR diatur dengan Undang-Undang, begitupun dengan DPRD Kabupaten/Kota, UUD 1945 tidak menentukan bagaimana susunan lembaga DPRD Kabupaten/Kota termasuk cara dan mekanisme pemilihan pimpinannya. Menurut Mahkamah, hal itu berarti bahwa UUD 1945 tidak menentukan bagaimana susunan lembaga DPRD Kabupaten/Kota termasuk cara dan mekanisme pemilihan pimpinannya DPRD Kabupaten/Kota karena hal tersebut adalah ranah kebijakan pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya. Hal tersebut diperjelas dalam Pasal 375 ayat (3) UU MD3 yang menentukan bahwa tata cara pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang Tata Tertib.
“Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, mekanisme pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang a quo tidak bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil serta persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon, oleh karena hal tersebut merupakan ranah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari pembentuk Undang-Undang yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” jelas Patrialis.
Selain itu, lanjut Patrialis, terkait permohonan para Pemohon agar ada pemberlakukan terbatas putusan yang hanya dikhususkan untuk DPRD Kabupaten Purwakarta, menurut Mahkamah, putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya mengenai pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945, bersifat erga omnes. Apabila keberlakuan putusan Mahkamah hanya terbatas pada wilayah, peristiwa, perindividu maka hal tersebut sudah masuk konteks kasus konkret (penerapan norma) sedangkan keberlakuan Undang-Undang a quo adalah berlaku umum. “Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandasnya.
Dalam pokok permohonannya, kedua Pemohon menjelaskan Pemohon menjelaskan hak konstitusionalnya dalam hukum dan pemerintahan terlanggar dengan berlakukanya Pasal 376 ayat (2), (3), (4), (5), (6), (7), (8), dan ayat (9) serta Pasal 377 ayat (6) UU MD3. Menurut Pemohon, aturan mengenai pemilihan pimpinan DPRD kabupaten/kota yang hanya berdasarkan pada perolehan kursi parpol dan menegasikan hak-hak anggota DPRD lainnya untuk mendapat kesempatan yang sama bertentangan dengan UUD 1945. Refly menjelaskan permohonan ini diajukan sebanyak 24 dari 45 anggota DPRD Purwakarta yang berarti telah mencapai suara mutlak, yakni 50 persen plus satu.
Pemohon menjelaskan Ketua DPRD ditentukan oleh DPRD agar dapat dipilih orang yang terbaik, di antara anggota DPRD yang ada, bukan ditentukan oleh partai dengan suara terbanyak. Terlebih jumlah kursi terbanyak tersebut masih minoritas dibandingkan dengan keseluruhan DPRD, bahkan ada pula jumlah kursi yang sama atau jumlah kursinya sangat sedikit. Para pemohon tersebut beranggapan kedua pasal yang diuji melanggar prinsip persamaan dan perlakuan yang adil baik dalam hukum maupun pemerintahan. Pemohon menilai, meski UU MD3 telah menjelaskan tugas antara DPR dan DPRD Kabupaten/Kota adalah sama, namun mekanisme pemilihan pimpinan DPRD ditetapkan berbeda dengan pemilihan pimpinan DPR. (Lulu Anjarsari/mh)