Nico Indra Sakti, seorang warga negara, merasa dirugikan hak konstitusionalnya atas pemberlakuan Pasal 2 huruf e Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebagai Pemohon, dia merasa ketentuan Undang-Undang tersebut telah menghilangkan, membatasi, atau setidak-tidaknya telah menghalang-halangi haknya untuk melakukan upaya hukum, terutama hak untuk mengajukan pemeriksaan sengketa terhadap keputusan Tata Usaha Negara dari organ yudisial. Hal tersebut berawal dari tidak diterimanya permohonan pemeriksaan gugatan yang diajukan oleh Pemohon terhadap Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara pada organ yudikatif.
“Tidak masuk akal ketika gugatan tidak diterima dengan alasan yang digugat adalah pejabat TUN organ yudikatif, yakni Ketua PN Jaksel dan merupakan hasil pemeriksaan badan peradilan. Pelanggaran bukan hanya dilakukan pejabat organ eksekutif, tapi juga yudikatif,” jelasnya dalam sidang perkara nomor 113/PUU-XII/2014 di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (4/11).
Lebih lanjut, menurutnya, Pasal 2 huruf e Undang-Undang tersebut dapat disalahgunakan oleh penyelenggara peradilan untuk melindungi keputusan Pejabat Tata Usaha Negara organ yudikatif yang ilegal. Pasal tersebut juga disalahgunakan oleh Peradilan Tata Usaha Negara untuk menggagalkan upaya pencari keadilan dalam mencari kebenaran materiil.
Adapun Pasal 2 huruf e UU Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan:
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
...
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemohon juga menguji materi Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU Peradilan Tata Usaha Negara. Menurutnya, ketentuan tersebut bertentangan dengan sistem dua tingkat penyelenggaraan pengadilan sebagaimana diatur pada Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 sehingga bertentangan dengan penegakkan hukum dan keadilan serta merusak sistem hukum.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menyarankan pemohon untuk mengelaborasi lebih lanjut permohonannya karena kasus yang dipaparkan dapat bersifat masalah pada implementasi sebuah norma, bukan norma itu sendiri. “Ini terkait dengan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, jelas itu kasus konkret. Silakan pemohon menguraikan lebih lanjut, kasus ini cukup dijadikan pintu masuknya,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman. (Lulu Hanifah/mh)