Pada persidangan yang digelar Kamis (30/10) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), dua perkara pengujian Undang-Undang Perkawinan digelar bersamaan. Seperti persidangan sebelumnya, Pemohon Perkara No. 30/PUU-XII/2014 dan No. 74/PUU-XII/2014 ini menghadirkan ahli-ahli yang menguatkan dalil mereka. Para ahli pun sepakat pernikahan dini menjadi salah satu faktor langgengnya kemiskinan.
Hal tersebut diungkapkan Guru Besar Fakultas Sosial Ilmu Politik (Fisipol) UGM dan Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Muhadjir Darwin. Sebagai ahli yang dihadirkan oleh Yayasan Kesehatan Perempuan, Muhadjir mengatakan bahwa salah satu persoalan kompleks dari perkawinan anak (child marriage) adalah adanya alasan ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa anak laki-laki di dalam keluarga akan lebih diprioritaskan pendidikannya. Sedangkan perempuan lebih cenderung mendapat perlakuan diskriminasi terkait hak mendapat pendidikan karena dianggap kurang menguntungkan. Oleh karena itu, perempuan dalam keluarga lebih cenderung untuk dikawinkan pada usia lebih dini.
Menurut Muhadjir, hal tersebut terjadi karena adanya tuntutan ekonomi dalam keluarga. Namun, seperti lingkaran setan yang tidak berkesudahan, perkawinan dini justru juga dapat menimbulkan kemiskinan lainnya. Muhadjir mendefinisikan hal tersebut dengan istilah melanggengkan kemiskinan. “Artinya, kalau kita mau mengatasi kemiskinan, maka salah satunya adalah bagaimana kita mengendalikan dari kecenderungan perkawinan anak,” tegas Muhadjir yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM.
Sementara itu Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA) dkk selaku Pemohon Perkara No. 74/PUU-XII/2014 itu menghadirkan Misiyah yang bekerja di Institut Kapal Perempuan yang berfokus pada pendidikan perempuan dan kemiskinan yang ada di Indonesia. Misiyah mengungkapkan hal serupa seperti yang dipaparkan Muhadjir.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan usia minimal pernikahan bagi laki-laki yaitu usia 19 tahun, sedangkan pada perempuan dengan usia 16 tahun telah berdampak pada perlakuan diskriminatif dalam pemenuhan hak pendidikan bagi anak perempuan. Ketentuan tersebut telah memberikan kesempatan lebih panjang bagi anak laki-laki untuk mengenyam pendidikan, paling tidak sampai usia 19 tahun. Sedangkan perempuan hanya dapat mengakses kesempatan mengenyam pendidikan sampai usia 16 tahun saja atau setara tamat SMP.
Dengan perlakuan tersebut, masih ujar Misiyah, perempuan mendapat dampak lanjutan akibat tingkat pendidikan yang rendah dan berujung pada kemiskinan. Tidak heran bila angka putus sekolah anak perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Persentase penduduk perempuan yang tidak memiliki ijazah juga lebih besar dibanding dengan laki-laki. “Dari itu tampaknya pembatasan batasan usia ini merupakan satu siklus bahwa perkawinan di bawah umur mengakibatkan pendidikan yang rendah dan itu akan melanggengkan kemiskinan yang ada di Indonesia,” tegas Misiyah.
Mortalitas Maternal Tinggi
Selain menyebabkan matarantai kemiskinan yang tidak putus, perkawinan pada anak juga menyebabkan angka kehamilan dan persalinan perempuan usia anak menjadi tinggi. Dari segi biologis, anak perempuan memiliki kondisi tubuh yang belum siap mengalami persalinan. Tidak heran bila pernikahan pada usia anak memiliki angga kematian saat persalinan (mortalitas maternal) yang tinggi. “Pada negara dengan angka perkawinan anak tinggi, biasanya angka mortalitas maternal juga tinggi. Indonesia termasuk negara yang masih memiliki mortalitas yang tinggi dan salah satu sebabnya itu adalah karena masalah perkawinan anak ini belum berhasil diatasi,” ungkap Muhadjir.
Muhadjir juga mengatakan praktek aborsi yang dilakukan oleh perempuan yang menikah pada usia anak jumlahnya sangat tinggi. Angka aborsi itulah yang menyumbang tingginya angka kematian dalam persalinan. Dengan kata lain, implikasi kesehatan akibat child marriage sangat tinggi. (Yusti Nurul Agustin/mh)