Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Roichatul Aswidah mengatakan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang memuat imunitas parlemen untuk mengikuti proses hukum dalam ranah pidana yang dapat dipandang sebagai pembatasan kesetaraan di hadapan hukum, serta hak atas akses pada pengadilan.
Hal tersebut disampaikannya saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang perkara nomor 76 dan 83/PUU-XII/2014. Dia menjelaskan imunitas yang terkandung dalam Pasal 245 UU MD3 tidak memenuhi asas proporsionalitas dan juga tidak diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah. Pasalnya, imunitas tersebut menunda proses hukum yang harus dilakukan sehingga mempengaruhi dan melanggar hak korban atas keadilan.
Padahal, menurutnya, Pasal 14 Kovenan Hak Sipil dan Politik menjamin hak seseorang untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya. Bukan hanya menjamin seseorang untuk diadili, aturan tersebut juga menjamin agar hak korban dari kasus terkait mendapatkan keadilannya. “Oleh karena itu, penundaan proses penyidikan kemudian akan melanggar hak korban untuk mendapatkan keadilan,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (29/10).
Lebih lanjut, dia menjelaskan imunitas parlemen memang diperkenankan. Namun, sebagai dasar pembatasan hak harus pula menjalani tes proporsionalitas dan asas keperluan. Hal-hal yang harus dicermati adalah bahwa dalam sejarahnya imunitas parlemen lahir dengan sebuah alasan yang kuat, yaitu untuk membentengi parlemen dari tirani penguasa. Pada abad ini, anggota parlemen di negara-negara demokratis dipandang tidak memiliki ketakutan dari kekuasaan para raja. “Sehingga, imunitas dan privilege yang diberikan kemudian justru dipandang seperti membentengi yang kuat melawan yang lemah daripada yang sebaliknya,” imbuhnya.
Oleh karena itu, pengadilan hak asasi manusia Eropa mengakui praktik-praktik di banyak negara yang memberikan imunitas pada parlemen tetapi hanya untuk mencapai tujuan yang sah dalam rangka melindungi kebebasan berbicara di parlemen, serta menjaga pembagian kekuasaan separation of power antara legislator dan penegak hukum.
Kecenderungan yang terjadi kemudian dibanyak negara demokratis adalah adanya pembatasan lingkup imunitas. Di Perancis, izin dari majelis tidak lagi diperlukan bagi penyidikan kasus pidana sejak reformasi konstitusi Perancis pada Tahun 1995. Demikian juga di Italia dan di Rumania sejak reformasi konstitusi pada 2003. “Inggris juga hanya menerapkan imunitas terhadap perkara perdata namun untuk tindak pidana anggota parlemen diperlakukan sama seperti orang pada umumnya,” jelasnya.
Pada sidang perdana, Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana dan sejumlah pemohon perseorangan sebagai Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 245 UU MD3. Menurut para Pemohon, ketentuan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pembatasan dan intervensi yang dilakukan oleh lembaga di luar sistem peradilan pidana yaitu Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI dan berpotensi menimbulkan gangguan secara langsung atau tidak langsung terhadap kemerdekaan aparat penegak hukum. Pemohon menilai hal ini disebabkan oleh keharusan bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan. Hal inilah yang dirasakan Pemohon akan menghambat penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti. “Dengan ketentuan tersebut, akan menghambat proses penyidikan yang juga akan menjadi beban terhadap APBN dan Pemohon merupakan pembayar pajak menjadi salah satu sumber APBN berkeberatan dengan hal tersebut,” paparnya.
Pemohon menilai tenggat waktu 30 hari dalam pasal tersebut, menjadi peluang bagi anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana untuk melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Seluruh hambatan ini secara jelas dapat disebut sebagai bentuk intervensi. Pemohon juga menganggap adanya tenggat waktu juga tidak sejalan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya ringan dalam proses peradilan pidana, dan memperlambat proses peradilan karena prosedur perijinan yang bertambah dan rumit, serta akan menambah biaya.
Pemohon juga mendalilkan UU tersebut melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum karena adanya tindakan diskriminatif bagi anggota DPR. Pemohon berpendapat bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, harus diberlakukan sama di hadapan hukum dan tidak diberikan keistimewaan saat menjalani proses hukum. Ketentuan ini menurut Pemohon bukanlah keistimewaan untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara, namun dapat berakibat terhambatnya proses hukum serta bertentangan dengan prinsip non diskriminasi. (Lulu Hanifah/mh)