Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bukan untuk memperlemah fungsi bank sentral dalam memelihara kestabilan nilai rupiah dengan menjalankan kebijakan moneter yang berkelanjutan, konsisten, transparan, dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah dalam bidang perekonomian. Namun OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam menjaga sistem perekonomian nasional. Hal ini disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar selaku Ahli Pemerintah dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) pada Selasa (28/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
“OJK sangat berfungsi untuk membantu kebijakan secara keseluruhan dalam kaitan tugas negara untuk menjaga sistem perekonomian nasional yang dikerjakan oleh pemerintah, OJK, maupun lembaga penjamin simpanan dan lembaga-lembaga lainnya yang penting untuk saling bahu-membahu menjaga kestabilan perekonomian nasional,” paparnya di hadapan majelis hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Kemudian, Erman Rajagukguk selaku Ahli Pemerintah lainnya menjelaskan independensi dan bebas dari campur tangan pihak lain dalam kelembagaan OJK tidak berarti independensi tersebut secara mutlak. Independensi tersebut, lanjut Erman, harus diimbangi dengan check and balance. Hal ini berarti OJK bukanlah lembaga yang memiliki kebebasan tidak terbatas.
“Independensi dalam arti mengatur sendiri several good intern body seperti komisi lain yang ada yaitu Komisi Penyiaran di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum dan pengawas persaingan usaha. Independensi OJK artinya juga bahwa OJK tidak berarti tidak berada di bawah otoritas lain atau tidak menjadi bagian dari pemerintah, namun OJK tetap wajib menyusun laporan kegiatan secara berkala dan melaporkannya kepada DPR,” paparnya.
Sedangkan Sihabuddin menjelaskan OJK lahir seiring dengan terjadinya proses globalisasi pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi dan inovasi finansial, maka menciptakan sistem keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait antar masing-masing sub sektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Oleh karena itulah, Lanjut Sihabuddin, perlu untuk membentuk lembaga baru agar keseluruhan pengawasan kegiatan keuangan dapat terintegrasi.
“Meski dalam permohonan disebutkan kebutuhan membentuk OJK adalah karena desakan ekonomi dari IMF terhadap pemerintah Indonesia yang disebabkan BI dianggap gagal fungsi saat itu, tetapi dapat dikatakan bahwa tidak hanya sekedar itu. Oleh karena itu ada dasar pembentukan otoritas jasa keuangan atau OJK. Ini bisa dilihat dari landasan hukumnya yakni pertama Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memang tidak berdasarkan Undang-Undang Dasar yang tentunya ada pertimbangan tersendiri,” terangnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK. Sebagai pembayar pajak, pemohon merasa lingkup kewenangan OJK telah melebihi kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Pada dasanya OJK menurut Pemohon hanya memiliki wewenang menetapkan peraturan terkait dengan tugas pengawasan lembaga keuangan bank yang berdasarkan pasal 34 ayat 1 UU Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan wewenang OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank dan jasa keuangan lainnya tidak sah karena pada pasal tersebut tidak mengatur hal tersebut.
Untuk itulah, dalam tuntutan atau petitum-nya, Pemohon meminta MK menyatakan UU OJK terutama Pasal 1 angka 1, Pasal 5, dan Pasal 37 bertentangan dengan UUD 1945. Namun apabila nantinya MK tidak mengabulkan permohonan tersebut, mereka meminta frasa “tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan” dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 55, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK dihapuskan. Pemohon juga mengajukan petitum provisi untuk menghentikan sementara operasional OJK sampai ada putusan pengadilan sehingga memerintahkan Bank Indonesia mengambil alih sementara. (Lulu Anjarsari/mh)