Para Pemohon pengujian ketentuan penunjukan kawasan hutan oleh pemerintah yang tercantum dalam Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) memperbaiki permohonannya. Erwin Dwi Kristianto selaku kuasa hukum Para Pemohon menyampaikan poin-poin perbaikan pada sidang kedua yang digelar Selasa (28/10) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi.
Di hadapan panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Erwin menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan perbaikan sesuai saran panel hakim pada sidang pendahuluan. Salah satu perbaikan yang dilakukan, yaitu perubahan kedudukan hukum (legal standing) yang digunakan oleh Masyarakat Guguak Malalo sebagai salah satu Pemohon. “Kita mengubah yang tadinya masyarakat Guguak Malalo menjadi Pemohon individu seperti saran dari Majelis. Selain itu kami juga menambah beberapa kelengkapan berkas terutama anggaran dasar dari Para Prinsipal,” ujar Erwin pada sidang perkara No. 95/PUU-XII/2014 itu.
Selain itu, Erwin juga menyampaikan dalam perbaikan permohonannya telah ditambahkan beberapa pasal larangan perusakan hutan. Meski tidak secara jelas menyebutkan pasal-pasal apa saja yang ditambahkan, Erwin mengatakan pasal-pasal soal larangan perusakan hutan tersebut menjadi acuan bagi pasal-pasal pemidanaannya.
Sebelumnya, Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), Indonesia Corruption Watch ICW), Yayasan Silvagama, dan tiga orang warga negara Indonesia tercatat menjadi Pemohon dalam perkara ini. Ketiga Pemohon perseorangan merupakan Pemimpin Adat Kampung Pekasa di Nusa Tenggara Barat dan petani yang pernah dijerat oleh ketentuan pidana yang diatur dalam kedua UU tersebut.
Dalam permohonan sebelumnya, Para Pemohon menggugat sebanyak 19 pasal dalam kedua UU tersebut. Pasal yang diuji antara lain, Pasal 1 angka 3 dan Pasal 6 ayat (1) huruf d UU P3H. Pasal 1 angka 3 UU P3H dianggap telah menimbulkan ketidakpastian hukum akan status kawasan hutan. Pasal tersebut juga dianggap saling bertentangan dengan UU Kehutanan yang mengukuhkan kawasan hutan dalam empat tahapan yang harus dilalui. Seharusnya, dalam penetapan kawasan hutan melalui proses penunjukkan hutan, penatabatasan hutan, pemetaan kawasan gutan, dan terakhir baru ditetapkan menjadi kawasan hutan.
Pasal 1 angka 3 UU P3H berbunyi sebagai berikut.
Pasal 1
3. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah
Frasa “dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah” menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum akan status kawasan hutan. Frasa tersebut juga dianggap telah menyamakan status hutan yang telah ditetapkan dengan hutan yang telah ditunjuk maupun hutan yang berstatus masuh dalam proses penetapan oleh Pemerintah. Hal tersebutlah yang menurut Pemohon telah bertentang dengan UU Kehutanan yang membagi kawasan hutan ke dalam empat jenis.
Terkait dengan sanksi pidana yang dijeratkan kepada perusak hutan, Pemohon merasa diperlakukan tidak adil, terutama Rosidi dan Mursyid Sarka Bin Sarkaya selaku petani yang pernah dijerat sanksi pidana. Sebab, orang yang melakukan perusakan di kawasan hutan yang baru ditunjuk saja akan ikut dikenai sanksi pidana. Dengan kata lain, kawasan yang bahkan belum ditetapkan sebagai kawasan hutan tidak boleh dirusak oleh siapa pun, termasuk warga sekitar kawasan tersebut. Bila kawasan yang baru ditunjuk sebagai kawasan hutan tersebut dirusak, meski dirusak untuk mencari nafkak sehari-hari seperti yang dilakukan Masyarakat Adat Kampung Pekasa di Nusa Tenggara Barat akan tetap dikenai sanksi pidana. (Yusti Nurul Agustin/mh)