Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan instrumen dari rezim anti pencucian uang dan pelaksanaanya perlu untuk mencegah meluasnya akibat dari perputaran uang haram di dalam masyarakat. Selain itu, pelaku utama dari kejahatan hanya akan mampu untuk dijerat jika negara memaksimalkan setiap pasal dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) tersebut.
UU TPPU sebagai strategi untuk menghentikan pencucian uang sendiri telah terbukti mampu mencegah lebih lanjut tindak pidana pencucian uang seperti yang dilakukan oleh beberapa terdakwa kasus yang melibatkan uang dalam jumlah besar tersebut.
Hal tersebut disampaikan oleh Refki Saputra, perwakilan dari Koalisi Masyarakat Anti Pencucian Uang yang bertindak sebagai Pihak Terkait dalam sidang pengujian UU TPPU yang diajukan oleh terdakwa TPPU, Akil Mochtar. Baginya, UU TPPU ini telah sesuai dengan UUD 1945 dan pengajuan terhadapnya akan membuat usaha pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia berada dalam keadaan yang tidak menentu. “Dalam lingkup yang lebih luas, pencabutan pasal a quo akan membahayakan usaha pemberantasan korupsi. Masyarakat akan menerima resiko yang bahkan jauh lebih besar lagi,” ujarnya.
Dalam sidang yang diselenggarakan Selasa (28/10) di Ruang Sidang Pleno MK ini, penulusuran harta kejahatan asal kembali menjadi salah satu topik yang dibicarakan. Menurut Refki, penelusuran terhadap harta kejahatan asal sangat diperlukan, sehingga aliran dana haram tersebut bisa dihentikan dan disita oleh negara.
Akil Mochtar sebagai pemohon dalam pengujian UU TPPU menyebut frasa “diketahui atau patut dapat diduganya” yang terdapat pada Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat 1, Pasal 69, Pasal 76 ayat 1, Pasal 77, Pasal 78 ayat 1, dan Pasal 95 UU TPPU telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Keberadaan frasa tersebut selama ini diaplikasikan dalam penelusuran harta-harta milik tersangka yang diduga didapat dari hasil pencucian uang dan sejauh ini banyak menunjukkan keberhasilan dalam membuktikan harta pencucian uang.
Bukan Persoalan Kuantitas
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva, kuasa hukum Pemohon Adardam Achyar meminta untuk menambah keterangan ahli dari pihaknya. Permintaan tersebut diutarakan setelah Pemohon merasa opini dari pihaknya kalah jumlah dibandingkan dengan pihak yang memberatkannya. Menanggapi hal tersebut, Hamdan Zoleva menyatakan bahwa kuantitas bukanlah persoalan.
“Bukan persoalan kuantitas. Kami hanya mempertimbangkan kualitas keterangan, tidak soal dua puluh lawan dua puluh atau lima lawan tiga. Kami ingatkan tidak ada satupun yang bisa menekan MK siapapun itu, Majelis sudah merasa cukup dengan opini dalam sidang jika ada tambahan bisa disampaikan dalam keterangan tertulis yang nilainya sama,” jelas Hamdan. (Winandriyo Kun A/mh)