Setelah tidak hadir dalam sidang sebelumnya, tiga orang anggota DPR/MPR yang menjadi pemohon dalam uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD mencabut permohonannya.
Dwi Ria Latifa, salah satu pemohon meminta maaf kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi karena tidak hadir dalam sidang yang dijadwalkan Rabu (22/10). “Saya bersama teman-teman tidak bisa hadir ke sini mengikuti persidangan yang seharusnya dijunjung tinggi karena sesuatu dan lain hal, sehingga terkesan seolah-olah kami mengabaikan keberadaan Mahkamah. Saya secara pribadi dan juga teman-teman memohon maaf sekali lagi yang sebesar-besarnya,” ujarnya di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (28/10).
Dalam sidang perkara nomor 107/PUU-XII/2014 tersebut, Dwi juga menyatakan dia dan dua rekannya, Junimart Girsang, dan Henry Yosodiningrat sepakat untuk mencabut permohonan karena berpotensi ne bis in idem dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya. “Kami pikir lebih baik keputusan terakhirnya dicabut saja daripada nanti toh akhirnya menjadi ne bis in idem karena pernah diputus pada saat sebelumnya dan nanti menjadi polemik baru. Biarlah dicoba semaksimal mungkin untuk dimusyawarahkan lagi walaupun ini berarti kami tidak punya kesempatan lagi mengajukan gugatan UU MD3, tapi risiko itu kami ambil,” imbuhnya.
Menanggapi pencabutan perkara, Majelis Hakim yang diketuai Patrialis Akbar menerima pencabutan tersebut. “Pada prinsipnya tentu Mahkamah menyerahkan sepenuhnya pada Pemohon mana yang terbaik, kalau memang demikian yang disampaikan, tentu Mahkamah menghormati putusan yang disampaikan oleh Pemohon,” katanya.
Namun, Patrialis menjelaskan Pemohon sebetulnya masih bisa menguji UU yang sama apabila pasalnya berlainan atau pasalnya sama, batu ujinya berbeda. Patrialis juga menyatakan memahami keadaan Pemohon yang tidak bisa menghadiri sidang MK karena tugasnya sebagai wakil rakyat. “Kita kan hanya melaksanakan undang-undang bahwa peradilannya harus efisien, cepat, biaya murah, kemudian memang beberapa permohonan yang tidak dihadiri oleh Pemohon pada sidang pertama kalau tidak ada konfirmasi itu banyak Mahkamah sudah memutuskan bahwa itu dianggap tidak serius,” imbuhnya.
Pada permohonannya, Pemohon menyoal tentang Pasal 15 ayat (2) UU MD3 yang menyatakan:
” Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap”..
Para Pemohon merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya dengan berlakunya UU a quo. Sebagai anggota MPR, Pemohon tidak berhak menentukan siapa yang akan menjadi Pimpinan MPR. Pemohon menilai, sistem dalam pemilihan pimpinan DPR yang mengharuskan minimal 5 fraksi berbeda membentuk satu paket, menyebabkan hak para Pemohon untuk memilih telah dihilangkan. Pasalnya, fraksi asal Pemohon, yakni PDI Perjuangan tidak dapat membentuk paket karena kekurangan satu fraksi.
Lebih lanjut, Pemohon menilai pemilihan Pimpinan MPR dalam satu paket mengakibatkan tidak ada otonomi anggota sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 huruf c UU 17/2014, yaitu anggota MPR berhak dipilih dan memilih. Melalui sistem paket, esensi pemilihan berada pada pilihan fraksi. Selain itu, menurut Pemohon, pemilihan pimpinan MPR dengan sistem paket telah bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945. (Lulu Hanifah/mh)