Mahkamah Konstitusi menerima kunjungan sejumlah calon guru dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Veteran Semarang. Kunjungan tersebut diterima oleh Peneliti MK Fajar Laksono di ruang rapat lantai 11 gedung MK, Jakarta, Selasa (28/10).
Dalam kesempatan tersebut, Fajar memaparkan sejarah MK Republik Indonesia. Dibandingkan lembaga negara yang lain, MK tergolong junior. Tetapi selama 11 tahun MK berdiri, Fajar menilai MK telah berkontribusi dalam pembangunan hukum dan demokrasi. “Kehadiran MK dalam menjaga konstitusi bukan hanya mengikuti tren yang terjadi. MK menjadi fenomena hampir seluruh negara demokrasi baru,” ujarnya.
Sejarah mencatat, MK pertama di dunia adalah MK Austria yang berdiri pada tahun 1920. Ketika itu, Austria mengamandemen konstitusinya yang salah satunya dimotori oleh Hans Kelsen. Ide Hans Kelsen diterima di berbagai negara post komunis. Negara-negara tersebut menjadikan pembentukan MK dalam paket amandemen konstitusi. Berawal dari itu, negara-negara yang sedang transisi menuju demokrasi memasukkan MK dalam amandemen konstitusinya. Sehingga, tidak ada reformasi politik tanpa reformasi konstitusi.
“Pasca reformasi, kenapa negara kita belum demokrasi? Karena konstitusi kita punya banyak celah yang membuat pemerintahan kita berujung tidak demokratis. Sehingga perubahan politik meniscayakan perubahan konstitusi,” imbuhnya.
Di Indonesia sendiri, ide tentang mendirikan MK dimasukkan kemudian disetujui pada perubahan ketiga UUD 1945 tahun 2001. Setelah itu, pengamandemen UUD 1945 yang masih belum tahu bagaimana MK akan terbentuk, melakukan studi banding untuk menginvestigasi. “Apakah MK berdiri sendiri atau menjadi salah satu kamar dari Mahkamah Agung, itu menjadi salah satu yang dipertimbangkan. Setelah melakukan studi banding, Indonesia menerima model Austria, yaitu MK berdiri sendiri. Beberapa negara, di antaranya Amerika, Filipina, dan Brasil tidak punya MK, tetapi fungsinya masuk dalam kewenangan MA,” jelasnya.
Lebih lanjut, Fajar menjelaskan MK memiliki tugas dan peran menjaga kemurnian konstitusi. Bicara MK, maka ajaran yang dianut adalah supremasi konstitusi. Segala peraturan harus linear dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Kenyataannya, karena undang-undang merupakan produk lembaga legislatif, banyak undang-undang yang mengandung dimensi politis di dalamnya.
“Kita dapat mencermati apa yang terjadi di parlemen saat pembentukan UU. Lembaga legislatif terdiri dari parpol yang direpresentasikan dengan fraksi-fraksi. UU Pilkada misalnya, dibentuk karena banyaknya kepentingan, sehingga nilai-nilai dasar konstitusi seringkali terabaikan,” ujarnya.
Sehingga, melalui MK, warga negara yang merasa dirugikan hak-hak konstitusionalnya dapat mengajukan judicial review atau pengujian UU terhadap UUD 1945. UUD 1945 sendiri, lanjutnya, memiliki dua prinsip, yakni melindungi hak asasi manusia dan pembatasan kekuasaan dalam rangka melindungi HAM. (Lulu Hanifah/mh)