Selain bermanfaat, tenaga listrik juga dapat membahayakan terhadap jiwa dan raga manusia, maupun lingkungannya. Oleh karena itu, untuk lebih menjamin keselamatan umum, keselamatan kerja, keamanan, instalasi, dan kelestarian fungsi lingkungan dalam penyediaan tenaga listrik, dan pemanfaatan tenaga listrik, instalasi tenaga listrik harus menggunakan peralatan dan perlengkapan listrik yang memenuhi standar peralatan di bidang ketenagalistrikan atau Standar Nasional Indonesia (SNI).
Hal tersebut disampaikan Plt. Direktur Jenderal Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi saat memberikan keterangan pemerintah pada pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (UU Ketenagalistrikan). Menurutnya, dalam UU Ketenagalistrikan diatur mengenai pemenuhan ketentuan keteknikan ketenagalistrikan yang terdiri dari keselamatan ketenagalistrikan dan pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan informatika, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 43 UU Ketenagalistrikan.
Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan antara lain meliputi: pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaatan tenaga listrik, pengamanan instalasi tenaga listrik, dan pengamanan pemanfaatan tenaga listrik. Hal demikian juga ditegaskan di dalam Pasal 44 ayat (3) UU Ketenagalistrikan.
Oleh karena itu, dalam rangka menjamin keselamatan umum, keselamatan kerja, keamanan instalasi tenaga listrik, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik, instalasi tenaga listrik harus menggunakan peralatan dan perlengkapan listrik yang memenuhi standar di bidang ketenagalistrikan, dan dibangun atau dipasang, atau dioperasikan oleh tenaga teknik yang berkompeten. “Instalasi tenaga listrik wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan yang dibuktikan dengan adanya Sertifikat Laik Operasi, sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan untuk mewujudkan penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik secara aman dan andal, juga ketenagalistrikan yang ramah lingkungan,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva di ruang sidang MK, Jakarta, Senin (27/10).
Dengan menerapkan adanya Sertifikat Laik Operasi, lanjutnya, diharapkan terwujud instalasi tenaga listrik yang andal dan aman, sehingga instalasi tenaga listrik dapat beroperasi secara berkesinambungan sesuai spesifikasi yang telah ditentukan. “Sehingga, bahaya akibat tenaga listrik dapat diantisipasi atau setidak-tidaknya dapat diminimalisasi. Selain itu, dengan Sertifikat Laik Operasi dapat menjamin pengoperasian instalasi tenaga listrik yang tidak menimbulkan kerusakan, utamanya pada kerusakan lingkungan hidup,” jelasnya.
Lebih lanjut, dalam pelaksanaannya, penerapan Sertifikat Laik Operasi dilakukan secara adil kepada semua pemilik instalasi tenaga listrik, baik instalasi penyedia tenaga listrik maupun instalasi pemanfaatan tenaga listrik. Sehingga penerapan Sertifikat Laik Operasi menurut Pemerintah telah memberikan perlindungan bagi semua pemilik instalasi tenaga listrik secara adil dan tidak bersifat diskriminatif, sehingga tidak menimbulkan kerugian kepada semua pemilik instalasi tenaga listrik. “Dengan demikian, menurut Pemerintah, ketentuan Pasal a quo, justru dalam rangka untuk memberikan perlindungan terhadap setiap orang akan keamanan dan keselamatan terhadap pemanfaatan tenaga listrik sehingga ketentuan tersebut atau ketentuan a quo telah sejalan dengan amanat konstitusi,” jelasnya.
Pasal Diskriminatif
Sebelumnya, Ibnu Kholdun selaku Pemohon menilai ketentuan norma Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan menjadi norma diskrimatif bagi Pemohon sebagai konsumen maupun pekerja listrik. Pasalnya, baik pelanggan kaya maupun pelanggan yang tidak mampu harus membayar biaya pembuatan sertifikat laik operasi. Hal tersebut telah menimbulkan kerugian dan berpotensi menimbulkan kerugian, serta bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
“Sepanjang ketentuan Pasal 44 ayat (4) tetap berlaku, tanpa memiliki Sertifikat Laik Operasi, maka Pemohon dapat dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagalistrikan,” ujar Ibnu di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (28/8).
Pasal 44 ayat (4) UU Ketenagalistrikan menyatakan:
“Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib memiliki sertifikat laik operasi”.
Pasal 54 UU Ketenagakerjaan menyatakan:
- Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Setiap orang yang memproduksi, mengedarkan, atau memperjualbelikan peralatan dan pemanfaat tenaga listrik yang tidak sesuai dengan standard nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan atas pembatalan pasal-pasal tersebut secara keseluruhan. (Lulu Hanifah/mh)