Salah satu pemegang saham PT Newmont Nusa Tenggara, yakni PT Pukuafu Indah mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). PT Pukuafu selaku Pemohon pada perkara yang teregistrasi dengan No. 108/PUU-XII/2014 ini menggugat ketentuan kontrak karya yang tercantum dalam Pasal 169 huruf b dan Pasal 170 UU Minerba. Sidang perdana perkara ini digelar Kamis (23/10) di Ruang Sidang Pleno, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemohon yang diwakili Arisman mengatakan ketentuan Pasal 169 huruf b, Pasal 170, dan Pasal 103 ayat (1) UU Minerba tidak berjalan dengan sinkron. Ketidaksinkronan tersebut disebabkan ketentuan Pasal 169 huruf a menyatakan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara yang telah ada sebelum berlakunya UU tersebut tetap diberlakukan undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian. Sedangkan, huruf b pasal yang sama memerintahkan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara harus disesuaikan selambat-lambatnya satu tahun sejak UU tersebut kecuali mengenai penerimaan negara. Terlebih, Pasal 170 juga memerintahkan pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian.
Ketentuan-ketentuan tersebut menurut Pemohon secara langsung maupun tidak langsung telah merampas dan menghalang-halangi hak konstitusional Pemohon seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan ayat (2), serta Pasal 33 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUD 1945. Ketidakpastian hukum yang ditimbulkan ketentuan-ketentuan mengenai kontrak karya tersebut menurut Pemohon telah menyulitkan dirinya sebagai salah satu pemegang kontrak karya untuk melakukan penjualan langsung mineral dan batu bara yang telah ditambangang.
Kerugian Pemohon dirasa makin berat karena kegiatan pertambangan mineral yang dilakukan PT Newmont Nusa Tengggara selama puluhan tahun dan terancam bangkrut. Hal tersebut mungkin terjadi karena pemegang saham lain yang berasal dari luar negeri dikhawatirkan akan mengakhiri kontrak karyanya dengan PT Newmont Nusa Tenggara setelah menyadari ketentuan mengenai kontrak karya dimaksud.
Oleh karena itu, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 169 huruf b dan Pasal 170 UU Minerba dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. “Berdasarkan uraian tersebut maka Pemohon memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berkenan memeriksa, dan mengadili, serta memutus permohonan pengujian ini sebagai berikut. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya. Menyatakan Pasal 169 huruf b dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Lembaran Negara Nomor 4 Tahun 2009, tambahan Lembaran Negara Nomor 4959 Tahun 2009 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 194. Menyatakan Pasal 169 huruf b dan Pasal 170 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Lembaran Negara Nomor 4 tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4959 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya,” ujar Arisman membacakan petitum permohonan Pemohon.
Kehadiran pasal-pasal yang diuji oleh Pemohon juga dianggap menyalahi perjanjian PT Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah. Seperti diketahui, PT Newmont Nusa Tenggara adalah mitra kerja sama Pemerintah dalam bidang pertambangan mineral berdasarkan kontrak karya yang ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1986 oleh Presiden Soeharto selaku wakil pemerintah. Kontrak tersebut pun sudah disetujui oleh DPR RI saat itu. Menurut Pemohon, kehadiran Pasal 169 uruf b dan Pasal 170 dalam UU Minerba telah menyalahi kontrak karya antara PT Newmont Nusa Tenggara dengan Pemerintah.
Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi yang menjadi anggota panel dalam sidang kali ini menyarankan Pemohon memperbaiki argumentasi permohonannya. Sebab, dalam permohonan Pemohon belum dijelaskan pertentangan pasal yang diuji dengan pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji. “Ini uraiannya sangat heboh tapi lalu dicari benang merahnya itu agak susah,” ujar Fadlil. Sebenarnya ada satu yang bisa saya tangkap, yaitu negara ini dianggap melanggar kontrak karena membentuk pasal-pasal itu. Seharusnya negara mematuhi kontrak karena ditandatangani Presiden Soeharto tapi negara justru membuat pasal yang merugikan Anda kan? Nah, kerugiannya itu apa?” ujar Fadlil memberi gambaran poin yang perlu diperbaiki oleh Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/mh)