Usai mendapat tanggapan dari Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada sidang sebelumnya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selaku Pemohon Pengujian Undang-Undang MD3 menghadirkan dua orang ahli hukum pada sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa (21/10) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Keduanya, yaitu Refly Harun dan Ronald Rofiandri. Refly mengatakan bahwa UU MD3 dirancang tidak mengindahkan putusan MK sebelumnya terkait wewenang Dewan Perwakilan Daerah. Sedangkan Ronald mengungkapkan pembahasan RUU MD3 tidak dilakukan secara terbuka.
Mengawali paparannya, Refly menyampaikan pemahamannya terntang Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 tertanggal 27 Maret 2013. Menurut Refly, dalam putusan tersebut pada pokoknya Mahkamah telah menyatakan DPD terlibat dalam penyusunan program legilslasi nasional. Selain itu, DPD juga dinyatakan dapat mengajukan rancangan undang-undang tertentu termasuk rancangan undang-undang pencabutan Perpu. Putusan yang sama juga menyatakan DPD dapat ikut membahas rancangan undang-undang tertentu bersama-sama dengan DPR dan presiden.
Refly memastikan bahwa selain lewat putusan Mahkamah, Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga menyatakan DPD berhak ikut membahas rancangan undang-undang, serta memberikan pertimbangan dalam pembahasan undang-undang. “Penggunaan frasa ‘ikut membahas’ adalah wajar karena keberadaan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disahkan pada perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999. Sedangkan Pasal 22D UUD 1945 disahkan pada perubahan ketiga pada tahun 2001. Hal itu berarti bahwa ikut membahas harus dimaknai DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah dan seterusnya bersama DPR dan presiden,” jelas Refly.
Mengenai pembahasan rancangan undang-undang bersifat tripartite (DPD bersama-sama dengan DPR dan Presiden), Refly mengungkapkan Mahkamah sudah menyampaikan secara eksplisit bahwa pembahasan RUU harus dilakukan antara lembaga negara. Dengan demikian, lanjut Refly, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) seharusnya diajukan oleh masing-masing lembaga negara.
Meski sudah satu tahun diputus oleh Mahkamah, Refly mengungkapkan putusan Mahkamah yang “menguntungkan” DPD tersebut belum dapat dinikmati sepenuhnya oleh DPD. Sebab, hingga kini DPR masih terlihat enggan untuk melaksanakan putusan Mahkamah yang diucapkan pada 27 Maret 2013 lalu itu. Keengganan DPR makin terbukti ketika UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 ditetapkan masih memunculkan kembali pembatasan kewenangan legislasi DPD. “Tidak heran bila DPD akhirnya kembali mengajukan permohonan kepada Yang Mulia Hakim Konstitusi. Dan ini menurut kami, Yang Mulia, masih titik yang bagus karena akhirnya kemudian ketidaktaatan terhadap putusan Hakim Konstitusi itu dikembalikan lagi kepada Hakim Konstitusi,” imbuh Refly di hadapan pleno hakim yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva.
Tidak Terbuka
Sementara itu Ronald Rofiandri yang merupakan peneliti Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) menyatakan bahwa PSHK pernah diundang dalam forum diskusi publik oleh Badan Legislatif DPR. Selain itu, PSHK juga diundang saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Khusus (Pansus) RUU Perubahan UU MD3. Ronald pun menyampaikan bahwa pada setiap paparan dan pencapaian masukan secara tertulis PSHK selalu mendorong agar setiap pembahasan RUU Perubahan Undang-Undang MD3 berlangsung secara terbuka.
Meski begitu, Ronald menilai diskusi publik yang diselenggarakan oleh Baleg DPR saat pembahasan RUU Perubahan Undang-Undang MD3 hanya mewujudkan asas keterbukaan pada sebagian proses saja. Sebab, diskusi hanya terjadi pada proses perencanaan, penyusunan, dan uji publik. Proses-proses tersebut menurut Ronald dilakukan sebelum memasuki tahapan pembahasan pasal per pasal. Padahal, menurut Ronald tahapan pembahasan pasal per pasal merupakan tahapan terpenting.
“PSHK secara mandiri maupun bersama koalisi Undang-Undang MD3 mengalami kesulitan, bahkan tidak mendapatkan akses informasi secara memadai terkait jadwal, lokasi, agenda, dan dokumen yang menyertai pembahasan RUU Perubahan MD3 khususnya pada tingkatan panja, timus, dan timsen. Sebagai perbandingan dengan pengalaman PSHK sebelumnya, mengikuti pembahasan RUU Susduk yang menjadi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang secara leluasa bisa mengetahui dengan segera,” ungkap Ronald.
Menurut Ronald tidak ditegakkannya asas keterbukaan dan akses yang memadai bagi masyarakat saat pembahasan RUU perubahan UU MD3 telah menyebabkan materi UU MD3 selalu diliputi aspek kontroversial, kerancuan sistematika, keraguan pada keberadaan naskah akademik RUU Perubahan Undang-Undang MD3, hingga polemik berkepanjangan di masyarakat. Dan salah satu dampak lebih lanjut, yaitu munculnya permohonan uji formil dan materil UU MD3 yang datang bergelombang dalam kurun waktu yang relatif singkat setelah pengesahan RUU MD3 seperti yang tengah dilakukan Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/mh)