Perkembangan hukum dan peradilan yang ada di Indonesia memiliki pertalian sejarah dengan Kerajaan Belanda. Pengadopsian hukum dan sistem peradilan Eropa kontinental di Indonesia mempertegas hubungan peradilan antara kedua negara tersebut. Rujukan hukum Indonesia, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) masih mengacu pada hukum Eropa kontinental yang dibawa oleh Belanda pada era kolonial. Hukum perdagangan Indonesia pun baru beberapa waktu lalu menggantikan aturan warisan Belanda yang telah berlaku selama 80 tahun.
Meskipun demikian, Republik Indonesia sebagai sebuah negara yang relatif baru, ketimbang Belanda, banyak mengalami perkembangan sosial dan politik. Progresivitas masyarakat, terutama pasca Reformasi 1998, mengalir deras lewat perubahan-perubahan yang ditawarkan oleh sistem politik bernama demokrasi. Pengadopsian hukum Eropa Kontinental kini dielaborasikan dengan hukum syariah dan hukum adat, sehingga produk hukum baru yang menjadikan hukum Indonesia unik. Perubahan atas sistem pemerintahan juga menjadi konsekuensi logis dari tuntutan reformasi. Atas nama perubahan itu pulalah, MKRI berdiri untuk menjaga kedaulatan rakyat sekaligus menunjukkan keteguhan demokrasi yang dipelihara oleh negara ini. Kemajuan pesat demokrasi Indonesia telah menarik perhatian banyak negara, termasuk dari Belanda yang produk hukumnya banyak diadopsi oleh Indonesia.
Audiensi Menteri Luar Negeri Belanda ke MKRI pada hari Selasa (21/10) memberi sinyalmen kuat atas pengakuan pihak asing terhadap proses demokrasi di Indonesia. Menlu Belanda, Herman Tjeenk Willink, mengapresiasi keberadaan MKRI dan menyatakan kebutuhan yang sama bagi setiap negara untuk mengadopsi salah satu kewenangan MK, yaitu pengujian undang-undang terhadap konstitusi (constitutional review). Constitutional review adalah sebuah mekanisme peradilan untuk menjamin kedaulatan rakyat yang belum diadopsi oleh lembaga manapun di Kerajaan Belanda.
Didampingi Duta Besar Belanda untuk RI, Tjeerd Feico de Zwaan, Herman yang juga mantan Wakil Ketua Dewan Negara Kerajaan Belanda, bertanya perihal mekanisme hukum lembaga-lembaga terkait dalam menjalankan kewenangan-kewenangan MK. “Di Belanda, kewenangan-kewenangan tersebut (yang dimiliki MA dan MK) tergabung dalam satu lembaga Hoge Raad. Bagaimana hubungan antar lembaga dalam menjalankan kewenangan MKRI? Menurut saya, ada sedikit paradoks ketika DPR harus setuju terhadap putusan perkara uji materi yang membatalkan produknya sendiri, ” tanya Herman.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ketua MKRI Hamdan Zoelva yang pada kesempatan tersebut didampingi Wakil Ketua MKRI Arief Hidayat dan Sekjen MKRI Janedjri M. Gaffar, menyatakan bahwa MKRI memiliki beberapa kewenangan yang masing-masing kewenangan tersebut memiliki persyaratan tertentu perihal siapa yang mengajukan dan pengaplikasiannya. “Pengujian undang-undang bisa diajukan oleh semua warga negara, lembaga negara, dan badan privat. Sengketa pemilu hanya bisa diajukan oleh peserta pemilu. Pembubaran parpol hanya bisa diajukan oleh pemerintah, dan impeachment Presiden hanya bisa diajukan oleh DPR. Untuk sengketa kewenangan, hanya lembaga negara yang tercantum dalam Undang-undang yang bisa terlibat,” jawab Hamdan.
Ia juga mengatakan bahwa hubungan antar lembaga selama ini berjalan baik karena sudah ada kesepahaman bersama dalam menanggapi putusan MKRI. “Selama ini pelaksanaan putusan berjalan baik, posisi MK yang terlegitimasi membuat putusan MK selalu dilaksanakan oleh pihak-pihak terkait, Presiden, DPR, Kementerian, KPU, atau rakyat sudah memiliki kesadaran terhadap posisi mereka terhadap putusan MK,” tambah Hamdan seraya menyatakan bahwa putusan MK akan langsung menjadi norma hukum baru yang tidak bisa digugat dan akan menjadi referensi dalam pembentukan produk hukum setelahnya.
Dalam pertemuan yang dilakukan di Ruang Delegasi MKRI, Herman juga menyampaikan apresiasi terhadap keterbukaan MK dalam proses dan penerbitan hasil sidang yang bisa diakses oleh siapapun untuk menjadi pembelajaran. “Fasilitas (Video conference dan penerbitan hasil sidang, risalah) sangat baik untuk menjadi pembelajaran, terutama di universitas-universitas. Mungkin ini bisa kita adopsi (di Belanda),” ujar mantan politisi Partai Buruh tersebut. (Winandriyo Kun/mh)