Sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (UU Pemilukada) - Perkara No. 111/PUU-XII/2014 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (20/10) siang. Pemohon adalah Samulia Indra yang didampingi beberapa kuasa hukumnya, di antaranya adalah Hasan Lumban Raja. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
“Terima kasih, permohonan Saudara diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada Selasa 14 Oktober 2014. Saudara mengajukan uji formil UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa undang-undang ini kemudian telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan perpu. Majelis mempelajari kalau objek permohonan Saudara sudah tidak ada karena sekarang yang berlaku adalah perpu. Ini saya serahkan pada Pemohon bagaimana selanjutnya? Saya persilakan,” kata Arief Hidayat membuka persidangan.
“Yang Mulia, adanya perpu itu sudah kami pertimbangkan. Dalam dalil-dalil permohonan kami itu sudah kami uraikan kenapa kami tetap mengajukan permohonan pengujian formil walaupun sudah ada perpu karena ada satu ada batasan waktu 45 hari untuk mengajukan uji formil, Yang Mulia. Artinya kami berpikir kalau nanti misalnya perpu ini ditolak oleh DPR maka Undang-Undang Nomor 22 dalam satu pemikiran akan berlaku otomatis itu hak untuk mengajukan uji formil sudah lewat. Begitu. Yang Mulia. Jadi, kami berpikir tetap mengajukan permohonan ini dan selanjutnya kami serahkan kepada Mahkamah tentang permohonan kami,” kata Hasan Lumban Raja, kuasa Pemohon.
Arief Hidayat menjelaskan, terjadi problematika peraturan perundangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. “Kita juga memang belum punya yurisprudensi bagaimana kalau perpu itu ditolak oleh DPR. Ada yang diatur di situ kalau ditolak DPR. Jadi, ada dua kemungkinan diterima, sehingga kemudian nanti ada undang-undang mengenai memberlakukan perpu itu menjadi undang-undang kalau itu diterima,” jelas Arief.
“Kalau perpu ditolak di situ hanya dijelaskan bahwa belum tentu undang-undang itu langsung bisa berlaku kembali. Ada konsekuensi hukum lanjut, artinya bisa saja kalau diberlakukan kembali, berarti ada undang-undang dengan nomor lain. Kalau undang-undang nomor lain, berarti diundangkan kembali. Sehingga kalau mau diuji formil, dengan nomor baru itu bukan yang ini. Sehingga kita bisa juga mengatakan bahwa sebetulnya secara materil dan formil pun undang-undang ini sudah tidak ada karena sudah dinyatakan tidak berlaku oleh perpu tersebut,” ujar Arief.
Sementara itu Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menerangkan, “Jadi Saudara Pemohon, begitu keluar satu perpu, kita melihat dulu isi perpu itu apa. Nah, perpu itu adalah kita ketahui membatalkan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014. Dengan dibatalkan, dengan sendirinya segala sesuatu yang ada kaitan dengan perpu itu dengan undang-undang yang dibatalkan.
Sedangkan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan, pencabutan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 melalui Perpu Nomor 1 Tahun 2014 harus dimaknai sebatas pencabutan substansi materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, sehingga secara formal Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tetap ada dan dapat dijadikan landasan oleh Presiden untuk menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2014.
“Nah, kalau perpu itu disetujui DPR, maka enggak apa-apa, perpunya jadi undang-undang, jadi apa yang dalam perpu itu langsung berlaku. Tapi kalau perpunya ditolak oleh DPR, maka Presiden harus mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan perpu,” imbuh Maria.
Belum Kuorum
Dalam permohonan uji materi UU Pemilukada ini, Pemohon mendalilkan bahwa keputusan Rapat DPR mengenai persetujuan DPR terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada 25 September 2014 belum memenuhi kuorum pengambilan keputusan sesuai ketentuan Pasal 284 ayat (1) Tata Tertib DPR, sehingga persetujuan tersebut tidak sah. Dengan demikian RUU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota semestinya belum dapat disahkan oleh Presiden.
Ditambahkan Pemohon, walaupun persetujuan DPR tersebut tidak sah, pada 2 Oktober 2014 Presiden tetap mengesahkan RUU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU No. 22/2014. Menurut Pemohon, perbuatan Presiden mengesahkan UU yang belum mendapat persetujuan yang sah dari DPR tersebut adalah melanggar ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945, sehingga pengesahan tersebut tidak mengikat secara hukum dan UU No. 22/2014 harus dinyatakan batal sejak awal dengan segala akibat hukumnya. (Nano Tresna Arfana/mh)