Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA) pada Senin (20/10) siang. Pemohon adalah Dwi Hertanty yang diwakili kuasa hukumnya, Robert Paruhum. Majelis Hakim terdiri atas Muhammad Alim (Ketua), Arief Hidayat (Anggota) dan Wahiduddin Adams (Anggota). “Saudara Pemohon silahkan menerangkan secara garis besar saja. Yang mana yang Saudara perbaiki dalam permohonan ini,” kata Hakim Konstitusi Muhammad Alim.
“Terkait UU Mahkamah Konstitusi, kami telah menambahkan UU No. 8 Tahun 2011. Kemudian untuk UU Mahkamah Agung kami telah menambahkan UU No. 3 Tahun 2009. Selain untuk pembukaan permohonan kami, yang semula enam halaman menjadi dua halaman,” jelas Robert Paruhum kuasa hukum Pemohon.
Dalam perbaikan permohonan juga dikurangi pasal-pasal UUD 1945 yang menjadi batu uji. Sehingga pasal yang menjadi batu uji adalah Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I. Selain itu, petitum dalam permohonan Pemohon sudah disempurnakan sesuai saran Majelis Hakim pada sidang pendahuluan.
“Saudara Pemohon, perbaikan permohonan ini Insya Allah akan kami laporkan ke Pleno. Bagaimana sikap Pleno mengenai permohonan ini, Saudara tinggal menuju saja,” ucap Alim.
Sebagaimana diketahui, uji materi UU Mahkamah Agung ini diajukan dengan dalil bahwa Pemohon telah didakwa telah melanggar Pasal 44 ayat (4) UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, telah diputus oleh pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding dengan hukuman pidana 2 bulan.
Menurut Pemohon, dengan adanya frasa “perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun” dalam ketentuan Pasal 44 ayat (4) UU tersebut, maka Pemohon tidak diperkenankan mengajukan kasasi dan Pemohon dalam hal ini tidak dapat mencari keadilan.
Sementara dalam Penjelasan Pasal 45A UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, bahwa pembuatan ketentuan tersebut hanya berdasarkan kecenderungan setiap perkara dilakukan kasasi dan untuk meningkatkan kualitas putusan Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Tinggi (PT). Alasan tersebut telah melanggar dan merugikan hak konstitusional Pemohon karena frasa “kecenderungan” adalah bersifat relatif sehingga tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk menetapkan sesuatu. (Nano Tresna Arfana/mh)