Dua perkara Pengujian Undang-Undang Perkawinan digelar bersamaan pada Kamis (16/10) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Pada sidang kali ini, kedua Pemohon yakni Pemohon Perkara No. 30/PUU-XII/2014 dan No. 74/PUU-XII/2014 menghadirkan ahli untuk memperkuat dalil mereka masing-masing. Ahli yang dihadirkan Para Pemohon, antara lain Fransisca Handy selaku dokter spesialis anak dan Maria Ulfah Anshor selaku Komisioner KPAI. Keduanya sepakat pernikahan dini menimbulkan gangguan kesehatan reproduksi maupun kesehatan mental (psikologis) anak.
Fransisca memulai paparannya mengenai definisi usia anak. Seseorang yang berusia nol sampai 18 tahun masih masuk dalam kategori anak. Bila seseorang yang berusia 16 tahun diizinkan menikah, maka pernikahan tersebut merupakan pernikahan anak. Dari data yang dipunyainya, Fransisca mengatakan pada tahun 2012 pernikahan di usia 15 sampai 19 tahun terjadi pada 12,6 persen anak-anak Indonesia atau sebanyak 6,9 juta anak perempuan dan 28.000 anak laki-laki.
Pernikahan dini menurut Fransisca memiliki dampak secara medis. Dampak dimaksud, yaitu kesehatan mental anak yang menikah dan pasangannya, risiko penyakit menular seksual, masalah gangguan pada kehamilan, masalah pada persalinan, dan gangguan kesehatan bayi yang dilahirkan.
Pernikahan dini menurut pengamatan Fransisca terjadi bukan atas keinginan anak tersebut. Karena bukan keinginannya sendiri, anak yang menikah dini akan merasa kehilangan masa bermain dan belajar. Masalah semakin besar ketika pasangan bukan dipilih atas kemauan anak tersebut. Kondisi semacam itu menurut Fransisca sangat rentan menimbulkan gangguan kesehatan anak. “Risiko konflik pertengkaran serta kekerasan dalam rumah tangga menjadi lebih tinggi. Belum lagi bila terjadi praktik poligami dari yang menikahi anak tersebut. Ditambah dengan usia dan pendidikannya rendah membuat seorang anak di bawah 18 tahun memiliki mekanisme koping (pola menahan ketegangan, red) yang kurang baik atau mekanisme mengatasi keadaan yang kurang baik, sehingga beresiko untuk mengalami gangguan kesehatan jiwa,” jelas Fransisca.
Selain kesehatan mental yang terganggu, kesehatan fisik anak yang mengalami pernikahan dini juga turut terancam. Anak-anak yang menikah dini diyakini Fransisca akan mengalami penyakit menular seksual, seperti sifilis, HIV, hepatitis B, HPV, dan lain sebagainya. Infeksi penyakit tersebut dapat terjadi karena organ reproduksi anak-anak belum matang atau mengalami imaturitas. Risiko semakin tinggi bila anak yang menikah dini mengalami kekerasan dalam hubungan seksual.
Masalah gangguan kehamilan juga sangat rentan dialami anak yang menikah dini. Sebab, dari data yang dipunya WHO disebutkan bahwa kehamilan yang terjadi pada di bawah usia 18 tahun umumnya adalah kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak dikehendaki. Tidak heran bila persiapan kehamilan maupun kelahiran tidak mendapat perhatian ekstra. Padahal pemeriksaan kehamilan secara rutin perlu dilakukan.
“Ibu remaja lebih berisiko mengalami hipertensi yang nantinya berkembang menjadi preeklamsia, anemia, dan kurang gizi yang semuanya ini menurunkan daya tahan tubuh seorang remaja perempuan yang hamil sehingga risiko HIV nya lebih besar. Bila ia tertular HIV, fire load atau jumlah virus yang masuk pun lebih besar dan risiko penularan ke janinnya juga lebih besar,” ungkap Fransisca.
Sementara itu Maria Ulfah Anshor mengungkapkan faktor terbesar terjadinya pernikahan dini pada anak-anak di bawah usia 18 tahun diantaranya kemiskinan, tingkat pendidikan rendah, tradisi setempat, perubahan tata nilai dalam masyarakat, dan kurangnya kesadaran dan pemahaman anak perempuan. Seperti lingkaran setan, anak-anak yang terjebak dalam pernikahan dini juga akan mengalami putus sekolah karena terpaksa harus mengurusi rumah tangganya. “Data sebuah penelitian menunjukan bahwa semakin muda usia menikah, maka semakin rendah tingkat pendidikan yang dicapai oleh anak. Bahkan penelitian Unified tahun 2012 menemukan bahwa perkawinan merupakan akibat langsung putus sekolah bagi anak perempuan, bukan karena kemiskinan tetapi karena perkawinan,” papar Maria.
Maria pun dengan tegas mengatakan bila pernikahan di bawah usia 18 tahun diizinkan, maka pernikahan tersebut harus diartikan tidak sah izin perkawinannya. Bila tetap dilaksanakan, maka perkawinannya pun menjadi tidak sah dan dapat diartikan telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
“Ketua dan Anggota Majelis Sidang Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, kesimpulan saya terkait pemberian izin sebagaimana dalam frasa 16 tahun Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) adalah pelanggaran terhadap hak-hak anak yang dilindungi oleh konstitusi, negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan anak agar seluruh hak anak sebagaimana dijamin konstitusi terpenuhi,” tutup Maria. (Yusti Nurul Agustin)