Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan tiga orang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menggugat ketentuan penempatan dan perlindungan TKI dalam Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Ketua MK, Hamdan Zoelva membacakan langsung amar putusan Perkara No. 50/PUU-XI/2013 yang dimohonkan oleh Arni Aryani Suherlan Odo, Siti Masitoh binti Obih Ading, serta Ai Lasmini binti Enu Wiharja pada Kamis (16/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebelumnya, para Pemohon mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 10 huruf b, Pasal 58 ayat (2), Pasal 59, dan Pasal 60 UU PPTKI tersebut. Pasal-pasal tersebut pada intinya menyatakan pelaksanaan penempatan TKI swasta di luar negeri menjadi tanggung jawab pelaksana penempatan TKI swasta. Selain itu, pada Pasal 59 UU tersebut dinyatakan TKI yang bekerja pada pengguna perseorangan (majikan perseorangan) yang telah berakhir perjanjian kerjanya dan akan memperpanjang perjanjian kerja, harus pulang terlebih dahulu ke Indonesia. Sedangkan pada Pasal 60 dinyatakan bila perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka pelaksana penempatan TKI swasta tidak bertanggung jawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja.
Ketentuan-ketentuan tersebut menurut Pemohon merugikan Pemohon dan bertentangan dengan kewajiban konstitusional negara dalam melindungi warga negara Indonesia. Selain itu, ketentuan pengurusan perpanjangan kontrak juga dianggap oleh Pemohon telah membatasi pihak yang berhak untuk mengurus perpanjangan kontraknya secara mandiri. Ketentuan tersebut sangatlah merugikan para Pemohon karena dapat menyebabkan Pemohon kehilangan pekerjaan ketika mengurus perpanjangan kontrak saat kembali ke Indonesia.
“Pasal ini sangatlah merugikan Para Pemohon, dikarenakan tidak ada jaminan Para Pemohon kembali bekerja pada majikan yang sama bahkan berpotensi kehilangan kesempatan bekerja dikarenakan fakta selama ini, penempatan TKI swasta sering mempersulit TKI untuk mengurus perpanjangan kerja, bahkan banyak ditemukan fakta perusahaan penempatan TKI swasta tidak diketahui lagi keberadaannya,” jelas Jansen E. Saloho selaku kuasa hukum Para Pemohon pada sidang pendahuluan perkara ini yang digelar Selasa, 28 Mei 2013.
Segala kerugian tersebut semakin diperberat dengan ketentuan Pasal 60 yang berbunyi, “Dalam hal perpanjangan dilakukan sendiri oleh TKI yang bersangkutan, maka pelaksana penempatan TKI swasta tidak bertanggung jawab atas risiko yang menimpa TKI dalam masa perpanjangan perjanjian kerja.” Ketentuan ini menurut Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, Para TKI tidak mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ketika mengurus perpanjangan kontrak kerja.
Pendapat Mahkamah
Terhadap gugatan terhadap Pasal 10 huruf b, Mahkamah berpendapat gugatan tersebut tidak beralasan menurut hukum. Sebab, Mahkamah berpendapat kewajiban negara untuk menghormati hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tidak sama dan tidak dapat diartikan sebagai kewajiban negara untuk melaksanakan penempatan TKI di luar negeri oleh negara atau oleh Pemerintah sendiri. Kewajiban Pemerintah sebenarnya sudah dilaksanakan lewat mengatur tata cara atau mekanisme warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri. Perizinan dan pengawasan bagi kegiatan penempatan TKI tersebut semata-mata untuk melindungi hak-hak dasar dan hak-hak konstitusional TKI sebagai warga negara Indonesia.
Sementara itu, Mahkamah menyatakan gugatan terhadap Pasal 59 beralasan menurut hukum. Menurut Mahkamah ketentuan tersebut memang diskriminatif. Sebab, Pasal 1 angka 7 UU PPTKI justru menyatakan TKI yang bekerja pada instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, dan/atau badan hukum swasta ditempatkan oleh Pemerintah tidak mewajibkan TKI tersebut pulang terlebih dulu ke Indonesia.
Menurut Mahkamah ketentuan yang mengharuskan TKI kembali ke Indonesia terlebih dulu untuk mengurus perpanjangan kontrak merupakan ketentuan yang kontraproduktif. Dengan tegas Mahkamah menyatakan ketentuan tersebut menyulitkan TKI bersangkutan untuk kembali bekerja pada majikan yang sama atau setidaknya memperoleh kembali pekerjaan dengan kualitas yang sama.
Daripada mengharuskan TKI pulang terlebih dahulu ke Indonesia, Mahkamah justru menyarankan Pemerintah melakukan advokasi mengenai hak libur bagi TKI di luar negeri agar dapat dimanfaatkan untuk pulang ke Indonesia sewaktu-waktu. Sehingga, TKI bersangkutan lebih memiliki keleluasaan untuk mengatur sendiri kapan akan pulang ke Indonesia yang tentunya disesuaikan dengan kondisi pekerjaannya.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ujar Hamdan Zoelva yang didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya, kecuali Ahmad Fadlil Sumadi. (Yusti Nurul Agustin/mh)