Politisi Partai Amanat Nasional asal Aceh, Anas Bidin Nyak Syech menilai aturan pengalokasian bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Kabupaten (DPRA dan DPRK) Aceh yang diatur dalam Pasal 80 ayat (1) huruf d dan huruf e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU Pemerintahan Aceh) menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan konstitusi.
Basrun Yusuf, kuasa hukum Pemohon mengatakan dalam pelaksanaan pemilihan umum legislatif 2014 di Provinsi Aceh, KPU sebagai penyelenggara Pemilu telah mengeneralisasi penerapan Pasal 80 (1) huruf d dan huruf e melalui Peraturan KIP (Komisi Independen Pemilu) Aceh. Menurutnya, UU Pemerintahan Aceh hanya mengatur jumlah bakal calon legislator pada partai politik lokal. “Namun KIP memberlakukan UU Pemerintahan Aceh untuk parpol nasional maupun parpol lokal,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 96/PUU-XII/2014 di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (15/10).
Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 80 ayat (1) huruf d dan huruf e UU Pemerintahan Aceh, khususnya frasa ‘partai politik lokal berhak mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPRA dan DPRK’ serta peraturan pelaksanaannya oleh KIP Aceh, bertentangan dengan tata cara pengajuan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Angggota DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu Pemohon meminta MK menyatakan norma yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun Pasal 80 ayat 1 huruf d dan e UU Pemerintahan Aceh berbunyi :
Pasal 80 ayat 1 huruf d dan e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
Partai politik lokal berhak: (d) ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; (e) mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan DPRA dan DPRK.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dengan anggota Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Patrialis Akbar menyarankan Pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami. Selain itu, dalam petitum Pemohon mengatakan UU yang diujikan melanggar tata cara pengajuan bakal calon yang diatur dalam Pasal 54 UU 8/2012 dan UUD 1945 sehingga membingungkan MK untuk mengadili perkara tersebut. Sebabnya, pengujian undang-undang terhadap undang-undang lain merupakan kewenangan Mahkamah Agung.
“Jadi, tidak diuji antara undang-undang dengan UUD 1945, tetapi dihadapkan dulu dengan Keputusan KIP, baru ditarik bahwa ini bertentangan dengan UU 8/2012. Ini apakah uji undang-undang terhadap UUD 1945 atau berbagai peraturan pelaksanaan yang ada di Aceh terhadap UU?” ujar Wahiduddin.
Lebih lanjut, menurutnya, ketentuan bahwa daftar calon memuat paling banyak 120% dari jumlah kursi sudah ada di Kanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Parpol Lokal. Oleh karena itu, dia meminta Pemohon untuk mempertajam permohonannya.
“Coba dipertajam lagi hal-hal seperti ini supaya kewenangan MK memang proporsional menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, bukan peraturan yang di bawahnya. Kalau (pengujian) keputusan bukan di MA apalagi MK, mungkin nanti di peradilan yang lainnya apa TUN dan lain sebagainya,” tutupnya. (Lulu Hanifah/mh)