Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo, Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perkumpulan Pemantau Sawit (Sawit Watch), Indonesia Corruption Watch ICW), dan Yayasan Silvagama mengajukan gugatan terhadap ketentuan Penunjukan Kawasan Hutan oleh Pemerintah. Ketentuan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Kehutanan dan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Sidang perdana Perkara No. 95/PUU-XII/2014 ini digelar Selasa (14/10) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain ketujuh organisasi tersebut, terdapat tiga orang warga negara Indonesia yang turut menjadi Pemohon dalam perkara ini. Ketiganya yaitu, Edi Kuswanto selaku Pemimpin Adat Kampung Pekasa di Nusa Tenggara Barat, Rosidi dan Mursyid Sarka Bin Sarkaya selaku petani yang pernah dijerat oleh ketentuan pidana yang diatur dalam kedua UU tersebut.
Andi Muttaqien selaku kuasa hukum Para Pemohon hadir dalam sidang perdana yang diketuai Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Muttaqien menjelaskan terdapat 19 pasal dalam kedua UU tersebut yang diajukan untuk diuji oleh kliennya. Pasal yang diuji antara lain, Pasal 1 angka 3 dan Pasal 6 ayat (1) huruf d UU P3H.
Muttaqien menjelaskan bahwa Pasal 1 angka 3 UU P3H telah menimbulkan ketidakpastian hukum akan status kawasan hutan. Pasal tersebut juga dianggap saling bertentangan dengan UU Kehutanan yang mengukuhkan kawasan hutan dalam empat tahapan yang harus dilalui. Seharusnya, dalam penetapan kawasan hutan melalui proses penunjukan hutan, penatabatasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan terakhir baru ditetaplam menjadi kawasan hutan.
Pasal 1 angka 3 UU P3H berbunyi sebagai berikut.
Pasal 1
3. Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah
Frasa “dalam kawasan hutan yang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah” menurut Pemohon telah menimbulkan ketidakpastian hukum akan status kawasan hutan. Frasa tersebut juga dianggap telah menyamakan status hutan yang telah ditetapkan dengan hutan yang telah ditunjuk maupun hutan yang berstatus masuh dalam proses penetapan oleh Pemerintah. Hal tersebutlah yang menurut Pemohon telah bertentang dengan UU Kehutanan yang membagi kawasan hutan ke dalam empat jenis.
Terkait dengan sanksi pidana yang dijeratkan kepada pengrusak hutan, Pemohon merasa diperlakukan tidak adil, terutama Rosidi dan Mursyid Sarka Bin Sarkaya selaku petani yang pernah dijerat sanksi pidana. Sebab, orang yang melakukan pengrusakan di kawasan hutan yang baru ditunjuk saja akan ikut dikenai sanksi pidana. Dengan kata lain, kawasan yang bahkan belum ditetapkan sebagai kawasan hutan tidak boleh dirusak oleh siapa pun, termasuk warga sekitar kawasan tersebut. Bila kawasan yang baru ditunjuk sebagai kawasan hutan tersebut dirusak, meski dirusak untuk mencari nafkah sehari-hari seperti yang dilakukan Masyarakat Adat Kampung Pekasa di Nusa Tenggara Barat akan tetap dikenai sanksi pidana.
“Dengan adanya undang-undang ini orang yang melakukan tindak pidana di dalam kawasan hutan yang baru ditunjuk itu akan dijerat oleh Pasal yang ada di undang-undang ini (UU P3H),” ujar Muttaqien.
Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menjelaskan bahwa MK tidak menguji undang-undang terhadap undang-undang. “MK tidak menguji antar undang-undang dengan undang-undang yang lain, tapi seandainya pun kemudian antara dua undang-undang itu ada ketidakpastian hukum, maka itu baru kita memperkirakan dan mempertimbangkan,” jelas Maria.
Maria pun menyarankan agar Para Pemohon menjelaskan kedudukan hukum yang mereka pakai untuk mengajukan gugatan terhadap ketentuan-ketentuan Penunjukan Kawasan Hutan oleh Pemerintah dalam UU Kehutanan maupun dalam UU P3H. Kedudukan hukum tersebut kemudian bisa dipakai untuk menjelaskan kerugian yang dialami akibat diberlakukannya pasal-pasal yang diuji oleh Para Pemohon. (Yusti Nurul Agustin/mh)