Berkenaan dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), maka Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) mempertimbangkan untuk tidak mengajukan ahli maupun saksi. Hal ini diungkapkan oleh Kurniawan selaku Pemohon perkara nomor 36/PUU-XII/2014 dalam sidang uji materiil UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) serta UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (UU Penyelenggara Pemilu) yang berlangsung pada Rabu (15/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Ya, sebelumnya kami dari pihak Pemohon minta maaf, sebenarnya saksi atau ahli yang sudah kami siapkan sudah siap, tetapi persoalannya adalah ketika seiring jalan bahwa kami menganggap norma yang kami uji telah kehilangan objeknya karena Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 maupun Undang-Undang Pemda sudah dicabut oleh undang-undang yang baru, sehingga kami menganggap bahwa tidak perlu mendatangkan ahli,” terangnya di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Menanggapi pendapat pemohon tersebut, Arief menjelaskan jika objek permohonan sudah tidak ada, maka hanya ada dua opsi, yakni mencabut permohonan atau diserahkan kepada majelis hakim untuk mengambil langkah berikutnya terkait dengan hilangnya objek permohonan.”Maka sebetulnya sudah tidak perlu dilanjutkan dalam persidangan-persidangan berikutnya,” ujarnya.
Dalam sidang sebelumnya, Pemohon mendalilkan dua pasal tersebut telah melanggar hak konstitusional para pemohon. Pasal 56 ayat (1) UU Pemda menyatakan “Kepala daerah atau wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sementara, Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu menyatakan “Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah Pemilihan untuk memilih gubernur, bupati dan walikota secara demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Pemohon menjelaskan Pasal 56 ayat (1) UU Pemda dan Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 karena tidak ditegaskan adanya frasa “dipilih secara langsung” dalam mekanisme pemilihan kepala daerah, melainkan hanya ditegaskan secara limitatif dengan frasa “dipilih secara demokratis”, sedangkan makna “dipilih secara demokratis” yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 adalah dipilih melalui mekanisme musyawarah/perwakilan bukan dipilih secara langsung seperti pemilihan Presiden/Wakil Presiden dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. “Kedua pasal tersebut tidak mengindahkan dan memenuhi kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku dalam sebuah norma hukum,” ujarnya pada sidang yang digelar pada Kamis (17/4) di Ruang Sidang Pleno MK. Selain itu, norma tersebut juga bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 karena Pemilu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil tersebut untuk Pemilu anggota legislatif, sedangkan Pemilu Kepala Daerah tidak termasuk didalamnya. Pasal 1 angka 4 UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 karena yang dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 adalah Pemilihan Umum yang dilakukan setiap lima tahun sekali secara serentak (nasional). (Lulu Anjarsari/mh)