Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) kembali diajukan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi pada Selasa (14/10). Seorang advokat dan notaris mengajukan permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 106/PUU-XII/2014 tersebut, yakni Ai Latifah Fardhiyah dan Riyanti.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 28 (d) dan Pasal 28 (e) UU BPK. Pasal 28 (d) UU BPK menyatakan “Anggota BPK dilarang merangkap jabatan dalam lingkungan lembaga negara yang lain, dan badan-badan lain yang mengelola keuangan negara, swasta nasional/asing”. Sedangkan Pasal 28 (e) UU BPK menyatakan “Anggota BPK dilarang menjadi anggota Partai Politik. Pemohon menjelaskan dengan berlakunya kedua pasal tersebut hak konstitusionalnya terlanggar untuk menduduki jabatan publik terutama sebagai anggota BPK. “Adanya keinginan dari pemohon di kemudian hari, untuk menjadi anggota BPK. Untuk menjadi anggota BPK persyaratan dari S.H. (Sarjana Hukum, red.) juga seharusnya bias, bukan hanya dari ekonomi dan akuntansi. Di sini ada ketidakjelasan pasal,” jelasnya di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Selain itu, Asrun menjelaskan Pemohon berpotensial terlanggar dengan adanya Pasal 28 (e) UU BPK yang tidak jelas memberikan larangan bagi anggota partai politik untuk mengajukan diri sebagai anggota BPK. Menurutnya, pemohon mengalami kesulitan untuk mengisi jabatan di BPK karena panitia yang menyeleksi dari DPR dapat pula mengajukan diri menjadi peserta seleksi. “Pemohon hanya advokat dan notaris akan sulit jika bersaing dengan anggota parpol, bagaimanapun juga mereka masuk ke dalam warga negara. Jika ketentuan tersebut tidak ditafsir maka akan ada sebab akibat,” terangnya.
Hal ini, lanjut Asrun, terbukti dari pemilihan pimpinan BPK tahun 2014 ini. Dua dari lima calon pimpinan BPK merupakan panitia penyeleksi pimpinan BPK tahun 2014 dan berasal dari parpol, yakni Achsanul Qosasi asal Partai Demokrat dan Harry Azhar Azis yang merupakan politisi Partai Golkar. “Hasil seleksi bersifat bias. Harusnya ada kejelasan pasal harus dicantumkan kapan ia harus berhenti sebagai anggota parpol atau setelah dia dilantik baru berhenti. Harusnya sebelum menjadi pejabat publik, ia berhenti sebagai anggota parpol,” terangnya.
Oleh karena itu Pemohon berpendapat kelompok kalimat yang diuji pada Pasal 28 huruf d dan e sepatutnya dibatalkan karena sudah tidak memberikan manfaat lagi untuk melindungi kepentingan konstitusi Pemohon.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Aswanto dan Wahiddudin Adams memberikan saran perbaikan. Aswanto menjelaskan pemohon harus lebih menguraikan keterkaitan antara persyaratan yang dimaksud dalam Pasal 28 (d) dan Pasal 28 (e) UU BPK dengan kerugian konstitusional yang mungkin dialami pemohon. “Apa kaitannya antara persyaratan dengan kerugian konstitusional yang potensial dialami permohon? Harus konkret dan faktual dialami pemohon. Dan apakah dengan tidak adanya persyaratan itu hak konstitusional pemohon terlanggar?” jelasnya.
Sementara Arief meminta agar Pemohon mencari pembanding dengan lembaga semacam BPK di negara lain terutama terkait mengenai anggota parpol. Majelis Hakim memberi waktu selama 14 hari bagi Pemohon untuk memperbaiki permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)