Sebanyak 150 mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Raden Patah Palembang mengunjungi Mahkamah Konstitusi. Kunjungan tersebut disambut oleh Peneliti Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono di Aula Lantai Dasar Gedung MK, Jakarta, Selasa (14/10).
Dalam kesempatan tersebut, Fajar mengatakan kehadiran MK merupakan produk dari reformasi konstitusi, yaitu melalui amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pasca runtuhnya orde baru. “Reformasi politik ketika itu meniscayakan reformasi konstitusi. Dalam reformasi konstitusi, pembentukan MK menjadi salah satunya,” ujarnya.
MK Republik Indonesia sendiri, sambungnya, banyak merujuk pada MK Korea Selatan, di antaranya jumlah hakim konstitusi, mekanisme pemilihan hakim konstitusi, dan kewenangannya untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa pemilihan umum, sengketa kewenangan lembaga negara, dan pembubaran partai politik. “Perbedaan keduanya terletak pada kewenangan Constitutional Complaint yang dimiliki oleh MK Korea Selatan. Hingga saat ini MKRI belum memiliki kewenangan ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, menurutnya, MK adalah pengadilan opini. Pendapat yang paling logis dan sesuai dengan konstitusi, maka pendapat itulah yang akan dipertimbangkan oleh para hakim. Namun, pendapat-pendapat yang dipertimbangkan adalah pendapat yang disampaikan di dalam persidangan. “Hakim MK tidak akan mempertimbangkan opini-opini di media massa atau opini lain di luar persidangan. Oleh karena itu, apabila ingin pendapatnya di dengar silahkan sampaikan di ruang sidang,” tuturnya.
Fajar juga menjelaskan putusan MK bersifat erga omnes. Hal tersebut berarti bahwa putusan MK berlaku untuk seluruh warga negara, bukan hanya pemohon yang memohonkan perkara. Putusan MK juga bersifat final dan mengikat. Artinya, putusan apapun yang dibuat MK harus diterima dan dilaksanakan tanpa harus menimbulkan konflik antara pihak yang kalah dan menang.
“Pengadilan adalah pihak ketiga yang dipercaya untuk menyelesaikan sengketa. Oleh karena itu, apapun putusannya harus diterima karena kedua belah pihak telah mempercayakannya pada pengadilan, dalam hal ini MK,” imbuhnya. (Lulu Hanifah/mh)