Pengujian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang diajukan oleh mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia telah berproses ke tahapan mendengarkan keterangan para pihak.
Pada sidang yang digelar pada hari Selasa (13/10) di Ruang sidang pleno MK, Panel Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva, membuka sidang yang dihadiri oleh perwakilan Pemerintah dari Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan HAM, Majelis Ulama Indonesia, Pihak terkait, dan dua orang pemohon prinsipal, Anbar Jayadi dan Damian Agata Yuvens.
Dalam sidang mendengarkan keterangan kali ini, FPI (Front Pembela Islam), pihak yang mengajukan diri sebagai pihak terkait, diberikan kesempatan untuk menyampaikan pandangannya mengenai pengajuan uji materi yang mengundang kontroversi ini. FPI, diwakili oleh Habib Salim Alatas, Sekum KH Jaffar Shodiq, dan Kuasa Hukum Mirza Zulkarnaen, menyampaikan bahwa tidak ada penghakiman yang dilakukan negara terhadap warga negara dengan diaturnya perkawinan dalam UU 1 Tahun 1974. “Pada hakikatnya, tata cara perkawinan itu sudah diatur dalam agama. Negara hanya hadir dalam memberikan pengaturan bahwa pemeluk agama harus menjalankan perintah agamanya,” kata Mirza Zulkarnaen.
Menurut Pihak Terkait, perkawinan beda agama tidak bisa disahkan karena perkawinan hanya bisa dianggap sah jika dilakukan berdasarkan aturan agama tertentu. “Perkawinan tidak sah jika hanya dilakukan melalui perdata saja. Tanpa keterlibatan agama, perkawinan yang memenuhi aspek perdata saja hanyalah perjanjian kumpul kebo semata,” tambahnya.
FPI dalam beberapa kesempatan pernah menyuarakan penolakannya terhadap pernikahan beda agama. Beberapa tahun yang lalu, FPI menunjukan reaksi keras terhadap ide hubungan beda agama yang terdapat dalam salah satu film Hanung Bramantyo dan memrotes rencana perkawinan beda agama yang hendak dilakukan oleh salah seorang figur publik.
Nilai-nilai Kerohaniaan
Sementara itu perwakilan dari Kementrian Agama, Machasin, menyatakan bahwa perkawinan merupakan hal yang menyangkut hak konstitusi dan pelaksanaanya harus dilangsungkan dalam nilai-nilai kerohanian. Menurutnya, Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 menyatakan tentang hidup yang berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, menunjukan bahwa keterlibatan agama harus ada dalam menjalankan hidup.
Perkawinan sendiri dianggap tidak hanya sebagai sebuah kegiatan lahiriah, namun juga menyangkut kerohanian, sehingga perlu diaplikasikan dalam suatu norma yang terkandung dalam agama tertentu. Menurut Pemerintah, dikabulkannya permohonan para Pemohon akan memunculkan ketidakpastian hukum dan mau tidak mau akan memunculkan gejolak sosial dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Perwujudan hak konstitusional harus dilakukan dengan menghargai hak konstitusional orang lain, dengan kata lain perwujudan hak konstitutisional yang adil harus dilakukan dengan kebebasan yang proporsional dan diatur oleh peraturan-peraturan kenegaraan. Perkawinan adalah salah satu perwujudan hak konstitusional dan diaturnya hal tersebut dalam suatu produk undang-undang lebih merupakan bentuk perlindungan warga negara untuk menciptakan sebuah pertalian keluarga yang kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.
Uji materi menyangkut perkawinan beda agama telah memunculkan perdebatan dalam masyarakat. Dalam permohonannya, para Pemohon menyatakan bahwa perkawinan seharusnya menjadi domain yang diatur oleh mempelai. sementara negara sebaiknya hanya bertindak sebagai fasilitator. (Winandriyo K.A/mh)