Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang kedua Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (UU Pengadaan Tanah), Senin (13/10) dengan agenda memeriksa Perbaikan Permohonan Pemohon.
Adner Parlindungan, yang menjadi kuasa hukum pemohon perkara dengan registerasi nomor 88/PUU-XII/2014 ini menjelaskan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Aswanto, bahwa pihaknya telah melakukan sejumlah perbaikan sesuai dengan nasihat hakim konstitusi pada sidang pendahuluan, Senin (25/09).
Menurut Adner, permohonan yang diajukan oleh pemohon, Heru Cahyono, ini berbeda dengan permohonan pengujian UU Pengadaan Tanah dalam perkara 50/PUU-X/2012 yang telah diperiksa dan diputus MK, serta perkara nomor 42/PUU-XII/2014 yang saat ini sedang diperiksa oleh MK. Dengan argumentasi itu, pemohon dalam perbaikannya menyatakan permohonan kali ini tidak nebis in idem.
Adner menjelaskan Pasal 19 ayat (1) UU Pangadaan Tanah yang berbunyi “Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang Berhak” serta Pasal 21 ayat (6) “Gubernur berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengeluarkan surat diterima atau ditolaknya keberatan atas rencana lokasi pembangunan” dinilai mengakibatkan tidak transparannya proses pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum.
Pemohon menegaskan tidak mengubah tuntutan dalam permohonan tersebut dan meminta agar Mahkamah untk memberikan penafsiran konstitusional bahwa instansi atau pemerintah provinsi wajib memberitahukan secara terbuka dokumen rencana dan lokasi tanah untuk pembangunan.
Sebelumnya, Heru Cahyono, perseorangan warga negara Indonesia yang merupakan anggota Konsultasi Publik rencana pengadaan tanah di Komplek Kepatihan sepanjang Jalan Suryatmajan, Kelurahan Suryatmajan, Kecamatan Danuerajan, Kota Yogyakarta, sekaligus pemilik tanah yang terkena dampak rencana pengadaan tanah kepatihan tersebut. Pemohon merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 19 ayat (1) karena ketentuan tersebut telah digunakan pemerintah provinsi sebagai dasar tidak dilakukannya pemberitahuan secara tertulis dan terbuka dokumen perencanaan pengadaan tersebut kepada warga yang terkena dampak pengadaan tanah.
Pemohon merasa khawatir atas berlakunya norma tersebut, karena data yang didapat dari lokasi rencana pembangunan digunakan sebagai data untuk pelaksanaan konsultasi publik. Menurut Pemohon, dokumen yang dijadikan perencanaan pengadaan tanah sendiri merupakan hak dari pihak yang berhak seperti yang dicantumkan dalam pasal tersebut, karena asas keterbukaan merupakan salah satu asas pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sesuai asas tersebut, Pemohon menganggap bahwa dokumen perancanaan pengadaan tanah harusnya tidak hanya boleh diketahui, dipegang, dan disimpan oleh instansi yang memerlukan tanah dan pemerintah provinsi.
Pemohon menilai hal tersebut tidak adil, karena sebagai pemilik tanah di lokasi yang akan dijadikan proyerk pembangunan tidak dapat mengakses dokumen perancanaan oleh pemerintah. Pemohon berpandangan hal tersebut dapat mengakibatkan penyalahgunaan sehingga akan menyesatkan atau mengurangi informasi dan alat bukti apabila ada pihak masyarakat yang menuntut haknya di muka Pengadilan di kemuadian hari. Terlebih, hak untuk turut memeroleh dokumen tersebut juga dijamin oleh Konstitusi, tepatnya oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pada pokoknya, Pemohon meminta dokumen perencanaan pengadaan tanah disampaikan kepada pihak yang berhak atas tanah tersebut melalui pemberitahuan tertulis yang bersifat terbuka. Dengan demikian, upaya penyalahgunaan hak atas tanah tersebut tidak akan disalahgunakan oleh siapapun, termasuk pemerintah provinsi yang memiliki kekuasaan untuk menyimpan dokumen perencanaan dimaksud. (Ilham/mh)