Perwujudan reformasi dalam keempat amandemen UUD 1945 adalah untuk menjamin demokrasi dan kebebasan rakyat yang bertanggung jawab, menggantikan pola politik lama yang mendistorsi kedaulatan rakyat. “Mahkamah Konstitusi terbentuk dari perubahan yang terjadi pada Konsitusi UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi itu adalah produk dari reformasi,” kata Fajar Laksono, salah seorang peneliti P4TIK Mahkamah Konstitusi kepada para mahasiswa Fakultas Syariah, Universitas Darusalam, Gontor yang mengunjungi MK, Senin (10/13) di Aula MK.
Fajar dihadapan sekitar 25 orang mahasiswa tersebut menjelaskan bahwa keberadaan MK sebenarnya adalah sebuah keniscayaan di negera-negara yang merefleksikan diri pada konstitusi demokrasi, tak terkecuali di Indonesia. “Kesadaran akan kebutuhan lembaga penjaga konstitusi diawali pada tahun 1921 ketika Mahkamah Konstitusi pertama di dunia dibentuk di Austria. Kemudian model Mahkamah Konstitusi mulai ditiru di banyak negara, di Afrika Selatan, negara-negara post-uni sovyet, Asia Timur, hingga sampai di Indonesia,” jelasnya. Kemunculan MK mengindikasikan sebuah perkembangan dari negara-negara yang menganut demokrasi dan menjunjung kedaulatan rakyat, kebutuhan lembaga ini mau tidak mau merupakan sebuah tuntutan dari dinamika peradaban modern.
Bagi Indonesia, MK merupakan lembaga yang relatif baru. Meskipun ide pembentukannya sudah ada sejak era awal kemerdekaan, namun baru pada era reformasi MKRI berhasil terbentuk dan menempatkan diri sebagai sebuah lembaga dengan peran krusial dalam usaha penegakan keadilan.
MKRI sendiri pada awal pembentukannya banyak mencontoh dari sistem MK Korea Selatan. Secara kewenangan dan formasi, MKRI memliki banyak kesamaan dengan lembaga peradilan yang berdiri pada 1988 tersebut, diantaranya adalah jumlah hakim dan kewenangan pengujian undang-undang terhadap Konstitusi. “Perbedaan utama terletak pada kewenangan Constitutional Complaint atau pengaduan Konstitusi yang dimiliki oleh MK Korea Selatan, kewenangan ini ada di Korea Selatan atas dasar perlindungan terhadap hak fundamental warga negara. Hingga kini MKRI belum mengadopsi kewenangan ini,” ungkap Fajar.
Pembubaran Partai Politik
Dalam kunjungan yang berlangsung selama kurang-lebih 40 menit tersebut, beberapa mahasiswa diperbolehkan mengajukan pertanyaan terkait fungsi dan tugas MK. Salah seorang mahasiswa bernama Syafii bertanya mengenai kewenangan MK untuk membubarkan partai politik. “Ukuran seperti apa yang digunakan MK untuk membubarkan partai politik?” tanya Syafii.
Terhadap pertanyaan tersebut, Fajar mengatakan bahwa pembubaran parpol adalah kewenangan MK yang hingga kini belum pernah dilaksanakan dan memang harus dilaksanakan dengan penuh perhitungan “Pertama-tama harus diingat bahwa kewenangan tersebut dilakukan untuk memperkuat kedudukan parpol, bukan melemahkan. Itulah mengapa kewenangan ini harus diajukan oleh pemerintah dengan alasan yang memadai, tidak seperti yang terjadi di waktu yang lalu, saat pembubaran masyumi misalnya,” ujar Fajar mencontohkan pembubaran Masyumi oleh pemerintahan Soekarno yang terjadi karena alasan pertentangan kepentingan elit.
“Diberikannya kewenangan ini kepada MK menjamin pemerintahan yang bertanggung jawab kepada rakyat dan menghilangkan kesan pemerintahan oligarki,” tambah Fajar. Menurut Fajar, salah satu parameter pertimbangan MK dalam membubarkan parpol adalah kesesuaian filosofi partai dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia.
Kunjungan mahasiswa Universitas Darussalam ini didampingi oleh Dekan Fakultas Syariah, Iman Nur Hidayat. Dalam sambutannya di awal pertemuan, Iman mengungkapkan bahwa kunjungan ini adalah “balasan” dari kunjungan mantan ketua MK Mahfud MD yang mengunjungi kampus Universitas Darussalam di Gontor pada tahun 2011. Selain ke MK, peserta kunjungan dari Universitas Darussalam yang kesemuanya pria ini dijadwalkan untuk berkunjung ke Mahkamah Agung. (Winandriyo K.A/mh)