Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) telah mereduksi Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang memberdayakan dan menguatkan fungsi-fungsi DPR. Hal ini akan berakibat melanggengkan proses yang tidak berimbang antara DPRD dan DPD sehingga proses tak berimbang ini akan terus melanggengkan proses legislatif koruptif. Demikian Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar ketika menjadi Ahli Pemohon dalam uji materiil yang diajukan oleh DPD pada Senin (13/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Undang-Undang MD3 telah mereduksi putusan MK tersebut dan kembali melanggengkan proses yang tidak berimbang antara DPRD dan DPD sehingga proses tak berimbang ini akan terus melanggengkan proses legislatif koruptif seperti yang saya contohkan di atas karena tidak adanya proses pengawasan yang berarti, bersifat intraparlemen, dan karenanya menarik untuk melihat dalam kerangka tindakan DPR ini merupakan perbuatan melawan hukum,” jelasnya di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva tersebut.
Menurut Zainal, secara teoritik memang sangat diperlukan adanya penguatan DPD, khususnya untuk kemudian mereduksi pasal-pasal dalam Undang-Undang MD3 yang telah menepikan penguatan DPD tersebut. Selain itu, lanjutnya, adanya praktik buruk kualitas legislasi yang memang dapat dikaitkan dengan tidak berfungsinya kontrol dua kamar dalam model parlemen bikameral, termasuk adanya upaya untuk menghambat penegakan hukum melalui Undang-Undang MD3. “Ketiga, perlu untuk melihat adanya kemungkinan mengkaji soal perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh DPR dan pemerintah dengan menegasikan putusan MK yang sudah lewat untuk hal-hal yang kemudian dimohonkan kembali oleh DPD,” tegasnya.
Sedangkan Saldi Isra yang merupakan Ahli Pemohon lainnya menjelaskan bahwa lewat permohonan Nomor 79/PUU-XII/2014 tersebut, DPD hanya ingin diperjelas terkait kewenangan dan fungsinya seperti yang tercantum dalam Putusan Nomor 92/PUU-XII/2014.
“Mereka meminta agar Majelis ini mengingat kembali putusan yang pernah dikeluarkan sekitar dua tahun atau lebih dari dua tahun yang silam, Nomor 92 Tahun 2012. Sebab putusan itu membawa paradigma baru dalam fungsi legislasi yang itu menjadi hukum yang efektif tiba-tiba dinegasikan kembali melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Saya kira ini permintaan yang sederhana dari DPD dan kalau itu dikabulkan, semua persoalan legislasi yang terkait dengan DPD mungkin tidak perlu ada keributan lain,” ujarnya.
Widiarto mendalilkan kerugian konstitusional dengan berlakunya UU MD3 memiliki cacat prosedural ketika pembentukannya. Menurut Pemohon, proses pembentukan UU MD3 telah melanggar ketentuan UUD 1945 yang memberikan wewenang konstitusional DPD mengajukan dan ikut membahas RUU. Namun, dalam hal ini DPD tidak diikutsertakan dalam proses pembentukan UU MD3. Oleh karenanya, Pemohon juga tidak dapat melaksanakan kewenangan konstitusionalnya dalam mengajukan dan membahas Rancangan Undang-Undang karena UU MD3 telah membatasi dan mengurangi kewenangan konstitusionalnya. Selain itu, Pemohon juga menilai pihaknya mengalami kerugian konstitusional diakibatkan oleh cacat materi muatan UU MD3. UU tersebut telah mereduksi kewenangan Pemohon yang meliputi pengajuan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang. Selain itu, UU MD3 juga mereduksi kedudukan Pemohon sebagai lembaga perwakilan daerah dalam menyampaikan aspirasi daerah khususnya dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Lebih lanjut, Pemohon juga merasa UU MD3 telah melanggar tata cara dalam melaksanakan perintah pendelegasian pembentukan peraturan sebagaimana ditegaskan konstitusi. Menurut Pemohon, seharusnya dibentuk UU MPR, UU DPR, dan UU DPD secara tersendiri. Pemohon merasa adanya pemasungan konstitusional terhadap DPD karena RUU yang diajukan DPD ”difilter” oleh pimpinan DPR untuk disampaikan kepada Presiden. Menurut Pemohon, juga terdapat pengaturan diskriminatif antar lembaga perwakilan, ketiadaan kesejajaran kedudukan lembaga perwakilan, dan pengingkaran terhadap Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012. Pemohon mencontohkan, DPR harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan DPR untuk dapat dianggil dan diperiksa, sedangkan ketentuan tersebut tidak berlaku untuk anggota DPD dan MPR. Diskriminasi lainnya yaitu peniadaan pengaturan anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut, namun untuk anggota DPD ketentuan tersebut masih ada. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa pembantukan UU MD3 tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang dan tidak mempunyai kekuatan hkum mengikat. Selain itu, Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Lulu Anjarsari/mh)