Pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah memperbaiki permohonannya. Pemohon yang terdiri dari sejumlah LSM memperkuat pokok-pokok permohonan dan memperbaiki permintaan permohonan atau petitum-nya.
Nur Amalia, kuasa hukum pemohon, mengatakan format permohonannya sudah disesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005. Selain itu, dalam pokok permohonan atau posita, pemohon memperkuat argumentasinya. “Kami memperkuat dasar-dasar argumentasi kenapa kami menginginkan ada aturan 30 persen keterwakilan perempuan, yakni sesuai undang-undang yang berlaku dan putusan MK yang ada,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 89/PUU-XII/2014 yang dipimpin Wakil Ketua MK Arief Hidayat di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Senin (13/10).
Dalam petitum, Pemohon juga menghapus kata ‘menerima’ menjadi hanya ‘mengabulkan’. Pemohon juga memindahkan batu uji, yakni pasal-pasal dalam UUD 1945 dari petitum e dalam posita. “Selain itu, kami juga menghapus petitum nomor 19 sampai nomor 21 karena MK tidak bisa bertindak sebagai legislator aktif,” imbuhnya.
Terakhir, Pemohon juga menghapus permohonan terkait penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) agar permohonan fokus pada 30 persen keterwakilan perempuan. “Dalam UU 17/2014 setelah kita cek juga tidak ada satu pasal pun tentang BAKN,” tutupnya.
Sebelumnya, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik, dan Yayasan LBH APIK Jakarta memperjuangkan 30 persen keterwakilan perempuan untuk menduduki kursi pimpinan alat kelengkatan DPR.
Pemohon menguji Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang dinilai telah menghapus seluruh ketentuan menyangkut keterwakilan perempuan dalam posisi pimpinan alat kelengkapan DPR. Pemberlakuan aturan-aturan yang tidak secara eksplisit mengatur tentang keterwakilan perempuan tersebut dinilai berpotensi melahirkan kebijakan yang tidak berpihak kepada perempuan.
“Pengaturan jaminan keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dengan menyebutkan frasa memperhatikan keterwakilan perempuan di setiap penetuan posisi pimpinan alat kelengkapan DPR dilaksanakan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan dalam posisi pimpinan alat kelengkapan DPR tersebut yang tidak dicantumkan dalam UU Nomor 17 Tahun 2014,” ujar Nur Amalia, Senin (29/9).
Berdasarkan dalil tersebut, Para Pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal yang diujikan inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai bahwa pimpinan masing-masing alat kelengkapan DPR “sekurang-kurangnya 30 % keterwakilan perempuan”. (Lulu Hanifah)