Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menegaskan komitmen dan keseriusannya dalam ikut memerangi kasus korupsi di Indonesia. Komitmen ini di buktikan PPATK dengan mendukung masuknya frasa “patut diduga” dalam Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian yang dapat digunakan sebagai pintu masuk menelusuri jejak uang hasil korupsi atau follow the money yang lazimnya telah dialihkan oleh pelaku korupsi ke dalam bentuk-bentuk lain yang bertujuan menghilangkan jejak.
Hal demikian disampaikan oleh Ketua PPATK Muhammad Yusuf dalam perkara nomor 77/PUU-XII/2014 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), Kamis (9/10) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi . Sebaliknya, Yusuf mengkhawatirkan jika frase “patut diduga” dihilangkan dari UU TPPU tersebut akan menyebabkan tidak maksimalnya usaha pemberantasan korupsi yang secara nyata telah merugikan negara. Pihaknya mencatat dengan adanya frasa “ patus diduga” dalam UU TPPU, maka rampasan terhadap harta terpidana dapat dilakukan, yang seluruhnya dikembalikan kepada negara.
Yusuf menambahkan bahwa dirinya merasa prihatin dengan adanya pengajuan uji materi UU TPPU yang diajukan oleh Mantan Ketua MK Akil Mochtar yang dikhawatirkan jika permohonan ini dikabulkan maka akan dapat menghambat kerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyelesaikan kasus korupsi. Dengan demikian Yusuf meminta agar MK menolak permohonan Pemohon yang meminta agar MK membatalkan UU TPPU.
Sependapat dengan PPATK, Pimpinan KPK Bambang Widjojanto juga meminta agar MK tidak mengabulkan permohonan dari terpidana korupsi Akil Mochtar. Ia menyebut frasa “patut diduga” dalam UU TPPU masih sangat relevan dan bermanfaat untuk menelusuri jejak hasil korupsi yang umunya telah dialihkan dalam bentuk-bentuk lain semisal mobil, properti, investasi usaha dan lain sebagainya.
Selain itu, Bambang juga menolak tudingan Pemohon yang keberatan jika KPK menjadi pihak yang menangani kasus korupsi yang menjerat Akil. Dalam gugatannya, Akil mengklaim KPK tidak berwenang menangani kasus ini. Menurutnya, pihak yang berwenang menangani kasus TPPU adalah Kejaksaan Republik Indonesia. Sebaliknya, Bambang justru menyebut kejahatan korupsi merupakan kejahatan luar biasa, dengan demikian maka membutuhkan penanganan yang juga sangat luar biasa.
Dilain pihak, Ahli Pemohon I Gede Panca Astawa menganggap UU TPPU tidak memberikan kepastian hukum dan menimbulkan multitafsir yang telah sangat nyata merugikan hak Akil Mochtar yang hartanya telah dirampas untuk negara, termasuk seluruh kekayaan yang tidak diperoleh melalui tindakan korupsi.
Sebagaimana diketahui, Pemohon mengujikan ketentuan Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95 UU TPPU. Adardam Achyar, kuasa hukum Akil Mochtar dalam sidang sebelumnya menyatakan frase “patut diduga” dan “patut diduganya” yang terdapat di Pasal 2, 3, 4, dan 5 UU TPPU telah menegasikan penelusuran yang utuh terhadap kekayaan yang didapat dari tindak pidana asal sebagai hulu dari tindak pidana pencucian uang. Berlakunya pasal-pasal itu membuat penyitaan harta berlangsung tanpa dasar. Menurutnya, banyak harta Pemohon yang disita yang sama sekali tidak terkait dengan kasus pencucian uang yang didakwakan kepada Pemohon. Harta-harta tersebut disita akibat pasal-pasal yang tafsirnya tidak jelas.
Selain ketentuan tersebut, Pasal 76 ayat (1) menurut Pemohon juga menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak memberikan kejelasan tentang siapa yang dimaksud dengan “Penuntut Umum”. Menurut Pemohon, KPU tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan terhadap perkara TPPU. Dijeratnya Pemohon dengan kedua undang-undang sekaligus, yakni UU TPPU dan UU Pemberantasan Tipikor adalah tindakan yang tidak adil. (Julie/mh)