Pertanyaan-pertanyaan sederhana, polos namun juga kritis terlontar dari beberapa siswa SD Binus (Bina Nusantara) International School, Simprug, Jakarta saat berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (9/10) pagi.
“Aku ingin bertanya, kalau sudah ada Mahkamah Konstitusi, kenapa masih ada Mahkamah Agung. Apa perbedaannya?” tanya Tito salah seorang siswa.
Sementara siswa berikutnya, Zera menanyakan soal batasan usia seseorang yang ingin melakukan uji materi undang-undang ke MK. “Apakah ada batas usia seseorang yang ingin menguji materi undang-undang atau menggugat ke MK?” ujar Zera.
Alhasil pertanyaan-pertanyaan tersebut ditanggapi dengan hangat oleh Peneliti MK, Abdul Ghoffar yang memberikan ceramah singkat terkait kinerja Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
“Baru kali ini saya mendapatkan pertanyaan yang kritis dari siswa SD. Menurut saya, ini merupakan pertanyaan yang unik dan sangat mendasar dari siswa SD yang pernah berkunjung ke MK,” ungkap Ghoffar pada kesempatan itu.
Ghoffar pun menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mengenai perlunya dibentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia, jelas Ghoffar, karena Mahkamah Agung sudah terlalu berat menangani berbagai perkara, termasuk di dalamnya masalah gugatan pemilihan kepala daerah.
“Kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung memang sangat berbeda. Mahkamah Agung terkait persoalan-persoalan yang kasuistis, misalnya persoalan perdata maupun pidana. Sementara Mahkamah Konstitusi terkait pengujian norma atau peraturan-peraturan,” urai Ghoffar yang didampingi Ferdinand, salah seorang guru dari Binus International School, Simprug.
Sebagaimana diketahui, terdapat empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi. Kewenangan MK yang pertama adalah melakukan pengujian UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana lainnya.
Selanjutnya, Ghoffar menjelaskan pertanyaan terkait batas usia pemohon yang melakukan uji materi ke MK. Dalam UU MK memang tidak ada peraturan yang membatasi usia pemohon. “Tetapi kalau adik-adik tertarik dengan hukum, itu ada batasan usia kedewasaan. Orang yang sudah bisa melakukan tindakan hukum adalah orang yang sudah dinyatakan dewasa. Indonesia saat ini belum memiliki standar kesamaan dalam usia dewasa,” jelas Ghoffar.
Namun, lanjut Ghoffar, usia yang layak menjadi pemohon di MK adalah usia sekitar 18 tahun. “Jadi kalau nanti adik-adik sudah berusia 18 tahun atau kira-kira sudah kelas 3 SMA, barulah bisa melakukan uji materi UU ke MK. Misalnya, melakukan uji materi UU Pendidikan, UU Lalu Lintas dan sebagainya,” imbuh Ghoffar.
Pada acara kunjungan para siswa Binus International School ke MK, juga dilakukan foto bersama dengan Wakil Ketua MK Arief Hidayat yang berkenan hadir. Selain itu para siswa diberikan kesempatan untuk melihat langsung Pusat Dokumentasi (Pusdok) MKRI yang ada di lantai 5 dan 6 Gedung MK. (Nano Tresna Arfana/mh)