Proses praperadilan berperan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang dari penegak hukum, utamanya dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan, baik yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi ataupun tidak.
Hal tersebut disampaikan Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Mualimin Abdi saat menyampaikan keterangan pemerintah terkait uji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, maksud dan tujuan yang hendak ingin ditegakkan dalam proses praperadilan adalah adanya tegaknya hukum serta sebagai penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi seseorang yang telah dilakukan tindakan-tindakan tertentu oleh penegak hukum, yaitu dari mulai penangkapan, penyitaan, dan penggeledahan.
“Dengan demikian, menurut pemerintah, mekanisme praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP adalah sebagai pengawasan horizontal terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa,” ujarnya dalam sidang perkara nomor 67/PUU-XII/2014 yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva, Rabu (8/10).
Terhadap dalil Pemohon yang menganggap ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP mengakibatkan Pemohon kehilangan jaminan untuk memperoleh kepastian hukum yang adil dan diperlakukan secara diskriminatif, pemerintah menjelaskan ketentuan tersebut justru merupakan wujud asas perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum, yaitu dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Pasalnya, ketentuan tersebut juga telah memberikan hak bagi terlapor atau tersangka untuk memperoleh perlindungan hukum yang adil.
Seorang tersangka, jelasnya, berhak juga untuk mengajukan praperadilan mengenai sah atau tidaknya tindakan penegak hukum untuk melakukan penangkapan, penggeledahan, maupun penahanan. “Selain itu, KUHAP juga menjamin adanya hak-hak tersangka untuk memperoleh keadilan, yaitu sebagaimana diatur di dalam Bab VI dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata tersebut,” imbuhnya.
Oleh karena itu, menurut pemerintah, apabila dalam penerapan pasal tersebut oleh penegak hukum terdapat kelemahan sebagaimana yang dirasakan oleh Pemohon, hal itu merupakan persoalan implementasi. Jika para penegak hukum dalam melaksanakan tindakannya tidak profesional, sambungnya, maka itu termasuk kategori unprofessional conduct dari aparatur yang diberikan wewenang.
Selanjutnya, terhadap dalil yang mengatakan penetapan sebagai tersangka Pemohon tidak sah karena penetapannya dilakukan sebelum pelapor dan saksi-saksi diperiksa, Pemerintah beranggapan seseorang dapat dijadikan tersangka apabila adanya dugaan yang kuat bahwa seseorang sebagai pelaku satu tindak pidana yang sedang disidik walaupun dengan instrumen yang minimum, yaitu dua alat bukti yang cukup.
Dalam praktik hukum, sambungnya, sering kali ditemukan seseorang yang dijadikan tersangka diperiksa terlebih dahulu sebagai calon tersangka atau sebagai saksi. Hal tersebut sangat tergantung kepada diskresi dari penegak hukum, baik dari pihak kepolisian, maupun kejaksaan. “Artinya, tidak bisa disamaratakan satu dengan yang lainnya untuk semua kasus sebagaimana juga yang menimpa Pemohon Prinsipal dalam permohonan pengujian ini,” jelasnya.
Dengan kata lain, setiap kasus memiliki kekhususan sendiri. Ada kalanya tanpa diperiksa terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka, ada kalanya diperiksa dahulu sebagai saksi, kemudian ditingkatkan menjadi tersangka. Hal tersebut tergantung dari penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penegak hukum untuk memperoleh dua alat bukti yang cukup.
“Menurut Pemerintah, norma hukum yang dimuat di dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP tidak mungkin diartikan bahwa seorang dapat ditetapkan terlebih dahulu sebagai tersangka sebelum adanya penyidikan. Yang mungkin terjadi adalah seseorang dinyatakan sebagai tersangka walaupun belum diperiksa sebagai saksi atau calon tersangka,” ujarnya.
Kendati demikian, pemerintah mengakui terdapat kekurangan-kekurangan dalam implementasi KUHAP oleh penegak hukum. Oleh karena itu, Pemerintah pada beberapa tahun yang lalu sudah mengajukan RUU KUHAP ke DPR untuk dilakukan perubahan-perubahan untuk mengatasi kekurangan-kekurangan dalam instrumen ketentuan KUHAP.
Sebelumnya, Pemohon menilai ketentuan Pasal 77 huruf a KUHAP telah membatasinya mengajukan praperadilan berkaitan dengan penetapan tersangkanya yang tidak sah. Pemohon ingin adanya upaya praperadilan terhadap penetapan tersangka tidak sah, berita acara pemeriksa tersangka tidak sah, penyidikan perkara pidana tidak sah, pengurangan hak kebebasan tersangka tidak sah, dan penuntutan tersangka tidak sah.
Adapun Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.”
Permohonan praperadilan yang diajukan Sanusi sebagai Pemohon telah diterima sebagian oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Permohonan yang dikabulkan adalah menyatakan tidak sah penangkapan Pemohon yang dilakukan oleh Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Namun, PN Jaksel menolak permohonan pembatalan surat perintah penahanan dan BAP perkara.
Oleh karena itu, Pemohon yang merasa dikriminalisasi oleh Polda Metro Jaya meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Konstitusi. “Menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai tidak termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, Berita Acara pemeriksaan tersangka, penyidikan perkara pidana, pengurangan hak kebebasan tersangka atau penuntutan tersangka,” ujar Kuasa Hukum Pemohon Yudi Anton, Rabu (3/9). (Lulu Hanifah/mh)