Pada saat Undang-Undang Dasar diubah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat disepakati bersama untuk menghadirkan Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan lembaga MK saat itu masih merupakan hal yang baru di dunia termasuk di Indonesia. Untuk itu lahirnya MK Republik Indonesia tercatat menjadi MK ke-78 di dunia.
Hal demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal MK RI Janedjri M. Gaffar yang didampingi oleh Kuasa Usaha Republik Indonesia Bebeb Djundjunan, kepada masyarakat Indonesia yang berdomisili di Bangkok bertempat di Kedutaan Besar Republik Indonesia Bangkok, Thailand, Jumat (3/10) malam. Jenedjri menjelaskan tentang perkembangan demokrasi di Indonesia dan peran MK bertemakan Mahkamah Konstitusi dan Demokrasi Konstitusional.
Di negara-negara baru yang menganut demokrasi, terutama di negara-negara pecahan Uni Soviet, peran MK mengalami pasang surut. Misalnya di Ukraina, presiden tidak mengusulkan hakim konstitusi, sehingga MK tidak mencapai kuorum dalam pengambilan keputusan. Begitu juga di Indonesia, MK RI menghadapi hal sama, dibenci sekaligus dirindu. Dirindu oleh masyarakat yang menginginkan adanya keadilan, tapi sekaligus dibenci oleh masyarakat yang kalah berperkara di MK RI.
Dalam hubungan ketatanegaraan antar lembaga-lembaga negara juga mengalami pasang surut. MK RI dibenci oleh pembentuk undang-undang dengan kewenangan antara lain melakukan judicial review UU terhadap UUD, yang bisa berakibat tidak mengikatnya sebuah undang-undang. “Apabila ada UU yang menurut masyarakat merugikan hak konstitusionalnya, silakan ajukan perkara ke MK dan ketika bisa dibuktikan bahwa ayat, pasal atau undang-undang secara keseluruhan telah merugikan hak konstitusional kita semua, maka MK sesuai perintah konstitusi akan membatalkan UU tersebut,” terang Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang ini menjelaskan konsekuensi putusan MK tersebut.
MK RI dihadirkan dalam sistem ketatanegaraan kita dalam rangka mengawal dan menegakkan konstitusi dan mengimbangi demokrasi karena demokrasi mengandung kelemahan sejak dari awal. Demokrasi itu, sambung Janedjri, adalah siapa suaranya yang terbanyak maka dia yang harus diikuti. Oleh karenanya, demokrasi yang secara kelembagaan direpresentasikan oleh keberadaan parlemen harus diimbangi dengan nomokrasi yang direpresentasikan oleh MK. Meskipun sebuah UU dibentuk oleh DPR dengan persetujuan Presiden, jika bisa dibuktikan melanggar UUD maka akan dibatalkan oleh MK.
Sampai saat ini MK RI sudah mengadili kurang lebih 500 undang-undang sejak 2003. Sebanyak 10 persen dari 500 undang-undang tersebut, terang Janedjri, dalam persidangan Mahkamah telah terbukti melanggar hak konstitusional warga negara sehingga ada yang dibatalkan frasanya, kata, pasal atau undang-undang secara keseluruhan. Sampai saat ini ada lima undang-undang yang dibatalkan secara keseluruhan.
Pemilu juga menjadi kewenangan konstitusional Mahkamah dalam bentuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum, baik Pemilu Presiden, DPR, DPRD. Sebenarnya Mahkamah masih memiliki kewenangan untuk memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah untuk sementara sebelum pembentuk undang-undang menetapkan lembaga yang berwenang mengadilinya. “Baru-baru ini Mahkamah konstitusi membatalkan undang-undang yang mengatur hal itu. Intinya mau diserahkan kepada lembaga lain,” ujar Janedjri. Tetapi ternyata Mahkamah Agung menunjukkan keengganan apabila memiliki kewenangan itu. Tetapi kewenangan ini, lanjut Janedjri, bukan persoalan mau atau tidak mau, ini persoalan undang-undang. Sekarang ini belum diketahui arahnya kemana, sehingga kita akan ikuti perkembangan terakhir.
Dalam forum ini, Janedjri menyatakan bahwa masyarakat belum memiliki kesadaran untuk menerima hasil keputusan pengadilan, termasuk terhadap putusan MK. “Terkait Pemilu, berdasarkan pengalaman saya di MK, masyarakat kita ini baru siap untuk menang tetapi belum siap untuk kalah. Apalagi pemilihan gubernur, bupati, walikota. Dari sekitar 500 lebih pemilihan kepala daerah, 90 persen atau sekitar 450 Pemilukada pasti bermasalah di MK. Dan hanya 10 persen saja dari 90 persen tersebut atau sekitar 45 saja yang dikabulkan. Artinya, sebenarnya apa yang dilakukan KPU sudah benar, meskipun masih banyak kekurangannya,” jelasnya.
Ini menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagaimana hukum bisa ditegakkan di negeri kita. Karena hukum bukan hanya persoalan mengenai substansinya saja, tetapi juga mengenai kelembagaannya termasuk juga budayanya. “Putusan MK tidak untuk didiskusikan, tetapi faktanya masyarakat mendiskusikan dalam pengertian menolak putusan MK. Tetapi itu seharusnya hanya menjadi wacana ilmiah akademis dan bukan untuk dipublikasikan dalam ruang publik. Putusan lembaga pengadilan itu harus dilaksanakan apalagi UUD menetapkan bahwa putusan MK itu bersifat final dan mengikat, artinya tidak ada upaya hukum lain yang dapat dilakukan terkait putusan MK,” sambung Janedjri.
Menurut Janedjri apabila melihat dan memahami konstitusi yang berlaku saat ini sudah cukup lengkap dalam memberikan perlindungan terhadap hak rakyat yang memiliki kedaulatan. Hal yang penting lagi, dalam konstitusi juga ditetapkan lembaga yang diberi tugas oleh konstitusi untuk melindungi hak setiap warga negara yang memiliki kedaulatan atas negara.
Dalam kesempatan ini, Sekretaris Jenderal MK RI yang juga penulis produktif di media massa dan buku ini sebelum menyampaikan pandangannya di atas menyampaikan maksud kedatangannnya dan rombongan dari MK RI. Kedatangannya dalam rangka membicarakan kerja sama antara MK RI dengan MK Thailand. Tidak hanya dengan Thailand, kerja sama ini sedang dijajaki dengan beberapa MK lainnya, antara lain MK Korea dan MK Rusia dalam memperkuat kapasitas institusi masing-masing lembaga. (Yogi Djatnika/mh)