Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), delapan lembaga berbadan hukum dan lima warga negara Indonesia yang tergabung dalam Tim Advokasi Wajib Belajar 12 Tahun mengajukan Pengujian Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Sidang perdana perkara ini digelar Selasa (7/10) di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta. Kuasa hukum Para Pemohon menyampaikan pada pokoknya Para Pemohon meminta Mahkamah menyatakan ketentuan tentang wajib belajar sembilan tahun inkonstitusional karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan bersifat diskriminatif.
Para Pemohon beralasan ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut bersifat diskriminatif. Sebab, dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa usia sekolah bagi anak adalah usia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun atau dengan kata lain wajib belajar bagi anak selama sembilan tahun.
Ketentuan tersebut bersifat diskriminatif sebab dalam UU Perlindungan Anak, tepatnya pada Pasal 1 ayat (1) menyebutkan definisi anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun. Karena itulah Pemohon menganggap telah terdapat diskriminasi bagi anak dengan usia 16 tahun sampai usia sebelum 18 tahun yang tidak dikenai wajib belajar.
Diskriminasi tersebut menurut Pemohon telah berimplikasi terhadap perlindungan khusus bagi anak berusia 16 tahun sampai sebelum 18 tahun yang tidak mendapat perlindungan khusus dari negara terkait pemenuhan hak atas pendidikan. Pemohon pun beralasan wajib belajar selama 12 tahun lebih relevan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan tuntutan Konstitusi yang memerintahkan generasi penerus bangsa mendapatkan pendidikan layak untuk dapat mengembangkan dirinya dan meningkatkan kualitas hidupnya melalui pendidikan.
“Kewajiban mengikuti pendidikan dasar merupakan kewajiban yang dibebankan kepada warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun, atau usia SD sampai SMP. Padahal sesuai perkembangan zaman dan kebutuhan akan kualitas sumber daya manusia Indonesia mendatang dan dihubungkan dengan bonus demografi yang dimiliki Indonesia, wajar sembilan tahun sudah tidak relevan lagi, sehingga kebutuhan akan landasan hukum bagi Program Wajar 12 tahun menjadi penting. Untuk itulah kami dari tim advokasi Wajib Belajar 12 tahun, terdiri dari 10 lembaga dan 6 individu, merasa wajib untuk mengajukan judicial review Undang-Undang Sisdiknas Pasal 6 ayat (1) terhadap Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ujar Ridwan Darmawan selaku kuasa hukum Pemohon dalam Perkara No. 92/PUU-XII/2014.
Selanjutnya Beni Dikty Sinaga yang juga merupakan kuasa hukum Para Pemohon menyampaikan ketentuan Wajar 9 tahun sebenarnya merupakan hasil amandemen UUD 1945 yang keempat. Dalam proses amandemen tersebut, Fraksi Reformasi beralasan Wajar 9 tahun diperlukan karena banyak anak bangsa yang belum bisa menikmati pendidikan di tingkat dasar dengan alasan kekuarangan biaya. Dengan adanya program Wajar 9 tahun, maka pemerintahlah yang dibebankan memenuhi biaya tersebut sehingga anak-anak berusia 7 sampai 15 tahun dapat mengenyam pendidikan dasar.
Dengan argumentasi yang sama, Para Pemohon menganggap bila ditetapkan Wajar 12 tahun maka pemerintah akan membiayai pendidikan anak-anak hingga usia sebelum 18 tahun atau sampai jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dengan alasan-alasan tersebut, Pemohon pun meminta Mahkamah untuk menyatakan Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas inkonstitusional bersyarat dan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (2) serta Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 apabila tidak diartikan sesuai keinginan Pemohon. “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar hingga jenjang pendidikan 12 tahun,” tandas Beni menyampaikan syarat agar Pasal 6 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi konstitusional. (Yusti Nurul Agustin/mh)