Independensi adalah masalah krusial dalam pelaksanaan tugas-tugas yang diemban Mahkamah Konstitutsi (MK). Setelah menjadi salah satu topik utama dalam pertemuan Mahkamah Konstitusi seluruh dunia di Korea Selatan beberapa waktu lalu, pentingnya independensi bagi MK kembali disampaikan kepada para mahasiswa dari fakultas hukum Universitas Diponegoro (Undip), Semarang dalam acara kunjungan yang diselengarakan di Aula MK, Selasa (7/10).
Fajar Laksono, peneliti P4TIK Mahkamah Konstitusi yang menyambut para mahasiswa Undip, menyampaikan bahwa persoalan independensi itu krusial, tidak hanya bagi MK namun juga bagi lembaga serupa di seluruh dunia. Ia menyatakan bahwa pengalaman di negara-negara lain menunjukan hal tersebut, “Apa yang terjadi Mongolia atau Ukraina, menunjukan bahwa independensi adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar dan urgent bagi pelaksanaan demokrasi konstitusional, terutama oleh Mahkamah Konstitusi di manapun ia berada,” ujarnya merujuk pada apa yang terjadi Mongolia dan Ukraina, ketika kedua lembaga peradilan tersebut dianggap melakukan tindakan bermotif politis dan memicu terjadinya pertentangan antar cabang-cabang kekuasaan di masing-masing negara tersebut.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh 50 mahasiswa Undip tersebut, Fajar juga menyatakan independensi hakim konstitusi sangat terjamin. Tiga lembaga yang menjadi pengusul para hakim konstitusi, yakni DPR, MA, dan Presiden tidak lagi bisa mengaitkan diri secara politis dan ketatanegaraan dengan para hakim konstitusi sejak para hakim mengucapkan sumpah. “Hakim diusulkan oleh tiga lembaga negara, Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, ketika sumpah diucapkan keterkaitan (dengan lembaga-lembaga) tersebut (serta-merta) putus,” ujarnya.
Menurutnya, selama sebelas tahun MKRI berdiri tegak mengawal Konstitusi RI, tidak pernah sekalipun ada intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap putusan MK, termasuk dari Presiden ataupun DPR. Baginya ini adalah bentuk kepercayaan dan kesadaran hukum dari para pelaku hukum dan pemegang cabang-cabang kekuasaan. “Selain itu, independesi MK juga bisa terlihat dari keputusan-keputusan (MK),” kata Fajar menambahkan bahwa keputusan MK merupakan refleksi dari konstitusi itu sendiri, sehingga intervensi dalam bentuk apapun tidak akan memengaruhi para hakim dalam mengambil keputusan.
Akuntabilitas dan Transparansi
Menurut Fajar, Independensi hanya bisa berlaku dengan menjalankan prinsip-prinsip lain yang mendukungnya, dua diantaranya adalah prinsip keterbukaan dan akuntabilitas. “MKRI selalu dimaksudkan untuk menjadi peradilan modern yang akuntabel dan terpercaya. Proses sidang di luar RPH (Rapat Permusyaratan Hakim bersifat rahasia), semuanya bisa diakses oleh publik, terutama melalui laman (online) kami. Jalannya sidang, risalah, dan putusan bisa diakses dengan mudah di situs kami,” ungkap fajar.
Keterbukaan dan hak untuk mengetahui menjadi perhatian khusus MK dalam usahanya menjadi lembaga peradilan yang modern, salah satu usahanya adalah dengan keberadaan situs online yang menyediakan informasi secara komprehensif, sesuai dengan tujun MKRI dalam menjadikan dirinya lembaga modern terpercaya berbasis Teknologi Informasi (IT). Dengan demikian, Independensi bagi MK bukan sekedar topeng dan bisa diawasi oleh publik.
Apresiasi terhadap usaha menjaga independensi yang dilakukan oleh MKRI diungkapkan oleh salah seorang Mahasiswi peserta kunjungan, “Saya melihat MK sudah sangat informatif [..] pemaparan dalam pertemuan ini menunjukan bahwa MK cukup serius dalam menjaga independensinya,” ujar Christy yang merupakan mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum Undip.
Kunjungan ke MKRI merupakan bagian dari rangkaian kunjungan mahasiswa Undip ke lembaga-lembaga hukum nasional. Selain MK, rangkaian kunjungan yang didampingi oleh Ketua Jurusan Hukum Pidana Pudjiono ini juga direncanakan untuk mengunjungi Mahkamah Agung dan KPK. (Winandriyo Kun/mh)