Seoul -Isu tentang independensi Mahkamah Konstitusi menjadi subtopik yang menarik dalam 3rd Congress of the World Conference on Constitutional Justice 2014 yang diselenggarakan di Seoul, Korea. Bahkan, di beberapa negara, isu independensi dari MK merupakan isu yang dinilai cukup sensitif. Tetapi di banyak negara, independensi MK bukanlah persoalan serius manakala situasi negara yang telah mapan. Namun di beberapa negara lain, tekanan terhadap independensi MK masih terjadi dan terus menghantui keberadaannya.
Demikian dikemukakan oleh Peter Paczolay, Presiden MK Hongaria, dalam ceramahnya di hadapan peserta konferensi, Selasa, 31 September 2014 di the Shilla Hotel, Seoul-Korea. Acara 3rd Congress of the World Conference on Constitutional Justice 2014 bertemakan “Constitutional Justice and Social Integration” ini dibuka secara resmi pada Senin, 30 September 2014. Presiden MK Korea Park Han-Chul memulai sambutan dengan menyatakan harapan dan kegembiraannya selaku tuan rumah acara tersebut. Pada acara tersebut, delegasi MKRI dipimpin oleh Wakil Ketua, Arief Hidayat.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden Republik Korea Park Geun-Hye hadir memberikan sambutan sekaligus membuka acara tersebut. Sebelumnya, melalui rekaman video berdurasi sekitar 15 menit, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon, juga memberikan sambutan dan penghargaan atas diselenggarakannya acara tersebut. Konferensi terbagi atas 5 sesi pleno yang mendiskusikan 5 subtopik yang dilaksanakan secara maraton selama 2 hari.
Isu independensi MK didiskusikan pada sesi V dengan menghadirkan keynotespeaker Peter Paczolay. Dalam sesi ceramah yang dipimpin Briggite Bierlein, Wakil Presiden MK Austria, Paczolay mengemukakan beberapa poin yang terkait dengan independensi MK. Poin-poin tersebut merupakan inventarisasi dari fenomena faktual yang pernah terjadi dan dialami oleh MK di beberapa negara.
MK, kata Paczolay, dapat saja mengalami tekanan dari cabang kekuasaan lain, misalnya dari otoritas politik yang berkuasa atau politisi-politisi lainnya. Demikian pula, MK juga mengalami tekanan dari media massa selama menangani kasus. Hal ini sebagaimana terjadi di Mongolia beberapa waktu lalu. Independensi MK juga dapat dilihat dari ada tidaknya resistensi cabang-cabang kekuasaan lain terhadap putusan MK. Acapkali terjadi, pihak-pihak yang tidak suka atau tidak setuju terhadap putusan MK berlaku resisten dengan tidak mau menjalankan putusan lembaga peradilan ini.
Dalam kesempatan tersebut, Paczolay juga menyinggung mengenai bagaimana MK menghadapi tekanan yang mengancam independensinya. Paczolay mengusulkan perlunya MK memberikan pemahaman secara inten melalui ceramah-ceramah kepada semua pihak tanpa terkecuali mengenai peran penting MK dalam menegakkan demokrasi dan the rule of law.
Selain itu, Paczolay juga menyebut pentingnya dukungan kerja sama, baik kerja sama domesik dengan cabang-cabang kekuasaan negara maupun kerja sama internasional dengan MK berbagai negara, seperti halnya World Conference of Justice. Kerja sama demikian memungkinkan pemberian dukungan dari lembaga-lembaga lain kepada MK, terutama ketika mendapatkan tekanan pada saat menjalankan kewenangan konstitusionalnya.
Sesi tersebut berlangsung sangat dinamis, terbukti ceramah Paczolay mendapatkan tanggapan tidak kurang dari 10 negara peserta konferensi, yaitu dari Panama, Korea, Polandia, Ukraina, Uzbekistan, Belgia, Nepal, Kyrgystan, dan juga Indonesia. Selain melakukan klarifikasi dan pendalaman atas materi ceramah Paczolay, sebagian besar tanggapan juga berisikan pengalaman praktik masing-masing terkait dengan independensi. Sejalan dengan tujuan konferensi, sesi ini menjadi ajang pertukaran pengalaman masing-masing negara. Dengan demikian, terdapat hal-hal menarik yang mungkin saja dapat saling diadopsi. (FLS/mh)