Seoul - Dalam rangkaian acara 3rd Congress of the World Conference on Constitutional Justice 2014 yang diselenggarakan di Seoul, Korea pada 29 September sampai dengan 1 Oktober 2014, isu independensi Mahkamah Konstitusi menjadi topik hangat. Isu tersebut didiskusikan pada Selasa, 30 September 2014 dengan menghadirkan keynote-speaker Peter Paczolay, Presiden Mahkamah Konstitusi Hongaria.
Paczolay mengemukakan, MK dapat saja mengalami tekanan dari cabang kekuasaan lain, misalnya dari otoritas politik yang berkuasa atau politisi-politisi lainnya. MK juga pernah mengalami tekanan dari media massa selama menangani kasus. Secara spesifik, Paczolay mencatat fenomena tekanan-tekanan terhadap independensi MK yang terjadi di berbagai negara.
Bahkan, kata Paczolay, di berbagai negara dijumpai pihak-pihak yang resisten dengan putusan MK. Ketika tidak suka atau tidak setuju dengan putusan MK, mereka menolak menjalankan putusan MK tersebut. Bahkan lebih jauh, mereka mencari jalan untuk menganggu independensi MK untuk mendapatkan putusan yang mereka inginkan.
Menanggapi ceramah tersebut, pimpinan delegasi dari MK Republik Indonesia yakni Wakil Ketua MK RI Arief Hidayat, menyampaikan pandangannya terhadap topik dalam diskusi di forum internasional tersebut. Arief mengemukakan beberapa hal yang berhubungan dengan praktik dan pengalaman MK Indonesia.
MK RI, jelas Arief Hidayat, merupakan lembaga negara baru yang dipandang berhasil memainkan peran konstitusionalnya dan dinilai memiliki kewibawaan di mata publik. Situasi tersebut terjadi karena MK Indonesia senantiasa memegang teguh independensi dan imparsialitasnya. Independensi tersebut telah dibuktikan dan teruji dengan sendirinya melalui putusan-putusan MK RI selama kiprahnya dalam 11 sebelas tahun terakhir.
Dalam kesempatan tersebut, Arief Hidayat menyampaikan tiga hal. Pertama, salah satu yang dapat dibanggakan MK RI ialah hakim konstitusi terbukti independen dan imparsial walaupun diusulkan dari tiga institusi berbeda. Setelah menjadi hakim konstitusi, keterikatan dengan lembaga pengusul serta merta berakhir.
Kedua, independensi dan imparsialitas MK Indonesia dapat terwujud karena institusi lain tidak pernah melakukan intervensi. Bahkan, kata Arief Hidayat, Presiden Indonesia sekalipun tidak pernah berusaha melakukan intervensi, meskipun banyak perkara-perkara di MK berhubungan dengan kepentingan Presiden. Untuk itu, MK RI Indonesia sangat menghargai lembaga-lembaga negara pada cabang kekuasaan negara lain, termasuk Presiden Indonesia, yang menghayati arti penting MK RI dalam membangun dan menegakkan demokrasi di Indonesia.
Ketiga, dalam era demokrasi yang mengedepankan keterbukaan seperti sekarang, independensi dan imparsialitas peradilan harus diiringi dengan transparansi dan akuntabilitas. Untuk itu, MK RI telah menempatkan layanan dan tata kelola lembaga peradilan yang baik sebagai satu kesatuan utuh dalam proses MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. MK RI memahami sepenuhnya tugasnya bukan sekedar memutus perkara melainkan juga membuka akses dan memudahkan masyarakat untuk menjangkau dan mendapatkan keadilan.
Pada kesempatan tersebut, selain Arief Hidayat, tanggapan juga datang dari delegasi Panama, Korea, Polandia, Ukraina, Uzbekistan, Belgia, Nepal, dan Kyrgystan. Berangkat dari ceramah Peter PACZOLAY, pada intinya seluruh penanggap mengemukakan bahwa independensi MK harus diwujudkan dengan cara dan usaha yang sungguh-sungguh. Independensi merupakan harga mati untuk dapat memastikan peran MK dalam menjamin hak-hak fundamental warga negara, menegakkan supremasi konstitusi, demokrasi, serta rule of law. (FLS/mh)