Retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Hal ini berarti retribusi merupakan pungutan yang dipaksakan jika tidak diukur dengan rumus yang diatur dalam UU. Demikian disampaikan Mohammad Khosaini selaku Ahli yang dihadirkan PT Kame Komunikasi Indonesia dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU Pajak Daerah). Sidang perkara dengan Nomor 46/PUU-XII/2014 yang digelar pada Kamis (2/10) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Dalam Pasal 151, Pasal 152, Pasal 161 ya, di situ mengatakan bahwa besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif retribusi, ya. Ini harus jelas, seperti itu. Kemudian, apabila tingkat penggunaan jasa sulit diukur, maka tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir berdasarkan rumus yang dibuat oleh pemerintah daerah, tapi di sini harus pas, di dalam Pasal 151 ayat (4). Rumus bagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencerminkan beban yang dipikul oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan jasa tersebut, sehingga rumus yang dibuat tidak bisa mengabaikan rambu-rambu ini,” jelasnya di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Khosairi menjelaskan dalam pandangannya, penjelasan Pasal 124 UU Pajak Daerah tidaklah menjelaskan ketentuan yang ada dalam Pasal 124. “Oleh karena itu seharusnya di dalam Pasal 124 itu menjelaskan formula, berapa jasa pelayanan yang akan diberikan oleh pemerintah terkait dengan retribusi pengendalian menara telekomunikasi ini, sehingga jelas di sini bagi menurut saya penjelasan ini bukanlah menjelaskan Pasal 124 justru ini bertolak belakang dengan ketentuan retribusi,” paparnya.
Sementara itu, ahli pemohon lainnya, Budi Sitepu menuturkan bahwa pendirian menara telekomunikasi tersebut tidak dapat dikendalikan oleh daerah karena kewenangan perizinan serta pemungutan pajak dan yang bukan pajak dilakukan oleh pemeritah pusat. Dari segi estetika, lanjut Budi, tumbuhnya menara telekomunikasi yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang telah menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah dimana menara tersebut didirikan. “Berbagai pendapat dan reaksi muncul atas kondisi tersebut, antara lain sebagian masyarakat di daerah memandang bahwa keberadaan menara telekomunikasi hanya menimbulkan kerusakan lingkungan dan tidak memberikan manfaat, sehingga acap kali terjadi ganguan keamanan terhadap keberadaan menara,” jelasnya.
Selanjutnya, sebagian pemerintah daerah juga memandang bahwa tumbuhnya industri telekomunikasi tidak memberikan kontribusi bagi pembangunan di daerah. Keberadaan menara justru dianggap merusak lingkungan, sementara daerah tidak mendapatkan bagian dari keuntungan dari perusahaan telekomunikasi, yang pada waktu itu acap kali dipublikasikan bahwa industri ini mendapat keuntungan cukup besar. “Hampir semua pungutan yang terkait dengan operasi telekomunikasi dilakukan oleh pusat, baik dalam bentuk pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, maupun penerimaan negara bukan pajak. Pemerintahan daerah menuntut agar sebagian dari pungutan tersebut diberikan kepada daerah, baik dalam bentuk bagi hasil ataupun dengan menambah jenispungutan daerah yang baru,” tegasnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Radian Syam, menjelaskan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Penjelasan Pasal 124 UU Pajak Daerah. Pasal 124 UU Pajak Daerah menyatakan, “Mengingat tingkat penggunaan jasa pelayanan yang bersifat pelayanan dan pengendalian sulit ditentukan serta untuk kemudian penghitungan tarif retribusi ditetapkan paling tinggi 2% dari nilai jual objek pajak yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak bumi dan bangunan menara telekomunikasi, yang besarnya retribusi dikaitkan dengan frekuensi pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi tersebut”.
Pemohon yang merupakan badan hukum privat yang berbentuk perseroan terbatas dan bergerak dalam bidang jasa telekomunikasi dan informasi merasa Penjelasan Pasal 124 tersebut membuat ketentuan tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi tidak lagi didasarkan pada biaya-biaya pengawasan dan pengendalian. Pemohon menjelaskan dalam praktiknya pemerintah daerah langsung menetapkan tarif sebesar 2% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Menurut Pemohon tarif yang dikenakan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 151, Pasal 152 dan Pasal 161 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam ketiga pasal tersebut telah ditentukan bahwa retribusi jasa umum harus didasarkan pada biaya penyediaan jasa dalam hal biaya operasional, pemeliharaan, bunga dan biaya modal. Selain itu penetapan tarif juga harus didasarkan pada kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektifitas pengendalian atas layanan retribusi.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan penjelasan Pasal 124 diubah dengan frase kalimat: penetapan tarif retribusi didasarkan pada biaya pengawasan dan pengendalian menara telekomunikasi. Kebutuhan biaya pengawasan dan pengendalian dapat dijabarkan dalam formula penghitungan tertentu. Selain itu, pemohon meminta agar Mahkamah Menyatakan Penjelasan Pasal 124 tidak sah secara hukum dan dinyakan dihapus karena telah membuat ketidakjelasan norma yang terkandung pada Pasal 124 hingga bertentangan dengan Pasal 152 dan Pasal 161 UU Pajak Daerah. (Lulu Anjarsari/mh)