Dewa Ayu Sasiarsy, dokter yang divonis sepuluh bulan penjara oleh Mahkamah Agung karena melakukan malpraktik memberikan kesaksian dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Peserta didik dari Program Pendidikan Spesialis Kebidanan dan Kandungan di Universitas Sam Ratulangi Manado itu menuturkan kejadian yang menimpanya pada April 2010 lalu yang membuat pengadilan di tingkat kasasi menyatakan ia dan dua orang rekannya melakukan tindak pidana. “Saya sedang bertugas di rumah sakit, kemudian saya menerima pasien rujukan dari puskesmas. Pasien tersebut saya putuskan untuk menjalani persalinan secara normal. Awalnya perjalanan persalinan berjalan lancar, tapi pada saat yang diperkirakan seharusnya pasien sudah melahirkan, bayi tidak lahir-lahir karena ada kemacetan dalam persalinan, sehingga terjadi prolong dan timbul gawat janin. Saya sebagai pimpinan jaga saat itu memutuskan untuk ini perlu dilakukan tindakan lanjutan,” ujarnya di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Rabu (1/10).
Ayu kemudian melapor kepada dosen penanggung jawab terkait kondisi pasien dan disetujui untuk dilakukan operasi. Operasi berjalan lancar, namun pascaoperasi pasien tidak bangun lagi. Satu bulan kemudian, dia mengaku mendapat surat panggilan dari kepolisian dengan sangkaan melakukan kelalaian yang menyebabkan kematian pasien. Bersama dua orang lainnya yang ikut dalam operasi, mereka menjalani prosedur seperti yang diminta oleh kepolisian.
Hasil visum et repertum, pasien mengatakan bahwa peyebab kematian pasien adalah emboli, bukan disebabkan oleh tindakan operasi. Namun, menurutnya, visum et repertum itu tidak menjadi acuan dari penyidik untuk membebaskannya dari pemeriksaan. “Mereka (penyidik) terus mengobrak-abrik saya punya kompetensi, mereka mulai mencari celah, jadi dari kausa kematian mereka tidak dapat, mereka mencari-cari kesalahan saya mulai dari surat izin praktik, surat persetujuan operasi, dan kompetensi saya sebagai dokter yang saat itu sebagai dokter yang sedang menjalani pendidikan dokter spesialis,” jelasnya.
Dia mengaku tidak pernah membayangkan akan masuk penjara. Ketika menjalani proses pemeriksaan, Ayu merasa pihak penyidik menggiringnya seolah-olah saya melakukan tindakan kriminal. “Jadi, yang awalnya tujuan saya adalah menolong nyawa orang lain, tetapi berujung pada permasalahan yang terus bergulir, sehingga saya dijebloskan ke dalam penjara,” ujarnya.
Ayu juga menyayangkan kenapa dirinya dan dua orang rekannya tidak diadili oleh pengadilan profesi. “Mungkin pihak jaksa penuntut umum, pihak penyidik tidak mengerti sama sekali dengan jalannya perjalanan medis sehingga ujung-ujungnya saya dianggap melakukan tindakan pidana,” imbuhnya.
Selain itu, penyebab kematian yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan surat izin praktik ataupun surat persetujuan operasi dikaitkan, sehingga seolah-olah dia kriminal murni. “Saat itu saya diputus bebas murni, namun jaksa masih kurang puas, Yang Mulia, mereka masih mengajukan kasasi dan hasil putusan kasasi Mahkamah Agung saya justru dinyatakan bersalah sehingga saya harus masuk tahanan, penjara dihukum selama 10 bulan,” tutupnya.
Trauma Berkelanjutan
Dokter kandungan Reza Kamal juga mengalami hal serupa. Pada Oktober 2009, dia didatangi pasien dengan keluhan terlambat haid. Diagnosanya saat itu adalah kehamilan tuba kiri, jadi kehamilan di luar kandungan. “Mengingat kehamilan berada di luar kandungan pasien saya berikan dua opsi, jadi yang pertama adalah operasi atau disuntik satu obat yang namanya metotreksat (MTX), tapi saya lebih menyarankan pasien mengambil opsi kedua, jadi disuntik dengan MTX tadi karena tidak ada intervensi bedah dan biayanya lebih murah,” ujarnya.
Akhirnya pasien mengambil opsi kedua. Karena di rumah sakitnya tidak ada obat tersebut, pasien dirujuk ke rumah sakit lain dan diterima oleh dokter kandungan lain. Di rumah sakit tersebut dokter dan pasien sepakat untuk tetap diberikan MTX. “Jadi, mengingat ukuran kantung kehamilan sudah 2.5 cm. Kalau kita tunggu lagi sehingga kita bisa pecah saluran tubannya. Kalau saluran tuban pecah, maka menjadi lebih buruk untuk pasien,” jelasnya.
Menurut pengakuan pasien, dua hari kemudian dia pergi berobat ke dokter lain di rumah sakit lain. Dan dinyatakan kehamilannya di dalam rahim. Keesokan harinya suami pasien menghubungi Reza via telepon mengemukakan hasil yang didapat rumah sakit lain. Dia kemudian menyarankan untuk melakukan pemeriksaan USG di Departemen Ketomaternal Rumah Sakit Tjipto, tetapi pasien memutuskan untuk tidak memeriksakan ke Rumah Sakit Tjipto. Dia tetap memutuskan untuk periksa dokter yang di rumah sakit lain.
Satu bulan kemudian, pasien dan suami kembali mendatanginya, meminta pertanggungjawaban Reza atas dugaan tindakan pemberian obat MTX yang membuat kematian mudigah (kematian calon janin dalam kandungan). “Pasien melaporkan saya dan melalui pengacaranya mengambil langkah untuk memberitakan kasus ini di lima media. Setelahnya mereka menuntut secara perdata dan pidana. Sidang perdata berlangsung, dengan bantuan kuasa hukum kami akhirnya dicapai kesepakatan. Sekalipun pasien sudah melontarkan permintaan maaf dan menarik laporan polisi. Tetapi penyidikan polisi tetap berlanjut dan akhirnya berhenti mungkin setelah melihat tidak ada bukti-bukti yang bisa diangkat,” tuturnya.
Sebagai imbas dari kejadian tersebut, dia mengaku jumlah pasiennya menurun. Lebih penting lagi, menurunnya semangat Reza sebagai dokter untuk mengabdikan keilmuannya. Trauma tersebut terus berlanjut sampai sekarang meskipun sudah lima tahun dia mengundurkan diri dari rumah sakit tempat kejadian. “Saya hanya berharap, Yang Mulia. Jadi seandainya kasus ini ditangani oleh tim di mana ada dokter yang terlibat di sana. Saya yakin penanganan kasus ini akan lebih baik. Jadi saya rasa harapan kami para dokter di sini demikian,” tutupnya.
Sebelumnya, Dokter Indonesia Bersatu menilai Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan konstitusi karena membuka interpretasi luas terhadap tindakan kedokteran yang dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dengan penafsiran yang terlalu luas tersebut, membuat pelanggaran kedisiplinan sorang dokter menjadi kasus pidana. Hal ini juga menimbulkan ketakutan di kalangan dokter untuk mengambil tindakan terhadap pasien yang memiliki resiko tinggi tinggi ataupun untuk melakukan tindakan dalam keadaan darurat karena dapat dipersalahkan kelalaian yang dapat mengakibatkan kematian seseorang.
Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran berbunyi:
“Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang”
Para pemohon meminta MK agar menetapkan Pasal a quo menjadi “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan, dengan ketentuan dugaan tindak pidana dan/atau kerugian perdata itu harus terlebih dahulu diadukan, diperiksa dan diputus MKDKI dengan putusan menyatakan teradu telah bersalah melakukan pelanggaran disiplin professional dokter atau dokter gigi yang mengandung kesengajaan (dolus/opzet) atau kelalaian nyata/berat (culpa lata) dan/atau menimbulkan kerugian perdata”. (Lulu Hanifah/mh)