Sidang Pengujian Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) yang dimohonkan terdakwa kasus bioremediasi fiktif PT Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah terus bergulir. Pada sidang ketujuh yang digelar Selasa (30/9), Pemerintah mendatangkan satu orang ahli dan satu orang saksi untuk menampik semua dalil Pemohon. Saksi Pemerintah paparkan akibat pengelolaan limbah B3 yang serampangan. Sementara ahli Pemerintah memastikan ketentuan pengelolaan limbah dalam UU PLH dimaksudkan untuk menjaga hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan jaminan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat.
Untuk membuktikan bahwa limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang tidak dikelola dapat menimbulkan berbagai kerusakan lingkungan, Pemerintah menghadirkan Ahmad Safrudin untuk menyampaikan kesaksiannya selaku aktivis lingkungan. Lewat paparannya, Safrudin menyampaikan berbagai bentuk pencemaran limbah B3 yang pernah ia temukan. Berbagai bentuk pencemaran yang disampaikan Safrudin antara lain, pencemaran udara lewat cerobong asap dan peleburan aki bekas yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan.
Kerap kali, Safrudin menemukan limbah B3 dibuang begitu saja atau open dumping. Pembuangan limbah semacam itu menurut kesaksian Safrudin merusak dan membahayakan lingkungan. Salah satu contoh kerusakan lingkungan terjadi di Desa Cinangka, Kabupaten Bogor yang menjad korban limbah sisa peleburan aki bekas. Di Desa Cinangka menurut Safrudin ditemukan kasus anak-anak yang terkena penyakit infeksi kulit hingga pembengkakan kelenjar leher. Saat diuji, anak-anak di Desa Cinangka memiliki kadar timbal yang sangat tinggi di dalam tubuhnya. “Pada peleburan aki bekas yang dibuang di mana-mana terjadi emisi yang keluar ke udara yang kemudian mengkespos atau memapar masyarakat yang tinggal di sekitar, baik melalui pernapasan kulit maupun makanan,” ujar Safrudin sembari memperlihatkan tabel jenis gangguan kesehatan akibat pembuangan limbah B3 yang tidak dikelola dengan baik sesuai ketentuan dalam UU PLH.
Mengingat dampak yang ditimbulkan dari pengelolaan limbah B3 secara serampangan, Safrudin mengatakan proses pentaatan dan penegakan hukum mutlak diperlukan dalam pengelolaan limbah B3. Dengan penegakan hukum, dampak negatif dari limbah B3 yang berujung pada kecacatan bahkan kematian dapat dihindari.
Lindungi Hak Konstitusional
Dari sudut pandang hukum pidana, pengelolaan limbah B3 yang sesuai dengan UU PLH juga mutlak dilakukan. Hal itu disampaikan oleh ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir. Terkait dengan ketentuan dalam Pasal 59 ayat (4) dan Pasal 102 UU PLH yang diguga Pemohon, Mudzakir mengatakan kedua ketentuan tersebut masuk ke dalam domain hukum administrasi publik, tepatnya domain hukum administrasi lingkungan hidup.
Sesuai prinsip hukum dalam pengelolaan limbah B3, izin dari pihak yang berwenang untuk melakukan pengelolaan limbah B3 mutlak diperlukan. Bila dilihat dari logika hukum, prinsip tersebut dapat diartikan hanya pihak yang telah memeroleh izin sajalah yang dapat melakukan kegiatan pengelolaan limbah B3. “Pihak yang tidak memperoleh izin, tidak boleh melakukan kegiatan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun atau limbah B3 meskipun memiliki kewajiban untuk mengelola limbah B3 yang dihasilkannya. Ini dimuat dalam Pasal 59 ayat (1) yang menyatakan penghasil limbah B3 yang hendak mengelola limbah B3 yang dihasilkannya diharuskan memiliki izin pengelolaan limbah B3,” jelas Mudzakir.
Selanjutnya, Mudzakir mengatakan bila penghasil limbah tidak dapat mengelola limbah sendiri, pengelolaan limbah B3 diserahkan kepada pihak lain yang juga harus memiliki izin pengelolaan limbah B3. Hal tersebut sesuai ketentuan dalam Pasal 59 ayat (4) UU PLH.
Ketentuan perizinan dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, lanjut Mudzakir, semata-mata untuk mencegah terjadinya dampak yang luas bagi lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Selain itu, instrumen perizinan juga dimaksdukan untuk memperkuat, melindungi, dan memberi jaminan dipenuhinya hak konstitusional setiap warga negara, terutama untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak konstitusional tersebut jelas diatur dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir/batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Sementara terkait dengan sanksi pidana yang dikenai bagi pengelola limbah B3 menurut Mudzakir merupakan suatu kebijakan kriminalisasi terhadap pengelolaan limbah bahan berbahaya tanpa izin atau dalam kebijakan hukum dikenal sebagai pencegahan dini atau kebijakan preventif. Adanya sanksi pidana sebagaimana dimuat dalam Pasal 102 terhadap pelanggaran hukum administrasi sebagaimana dimuat Pasal 59 ayat (4) diperlukan semata-mata untuk mendorong dan untuk memperkuat tegaknya norma hukum dalam hukum administrasi. Terlebih, sifat limbah B3 yang merusak kelestarian lingkungan hidup dan membahayakan kesehatan manusia. (Yusti Nurul Agustin/mh)